Hoegeng dan Keteladanan yang Bergelut Melawan KKN

Hanya ada tiga polisi yang tidak bisa disogok: Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur.


Penulis: Arif Widyantiko


Begitu lah sebuah lelucon yang pernah dilontarkan Gus Dur kepada Hoegeng. Sosok Hoegeng dikenal sebagai polisi yang jujur, anti suap, dan hidup dengan kesederhanaan. Bahkan di akhir masa pensiun sebagai Kapolri, Hoegeng tak memiliki rumah untuk tinggal dan menetap sementara di rumah dinas. Namun berkat rekan-rekanya dulu dan Kapolri penggantinya, Ia dibelikan rumah hasil dari iuran bersama.

Hoegeng Imam Santoso merupakan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ke-5. Kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921. Putra sulung dari tiga bersaudara, ayahnya bernama Soekarjo Kario Hatmodjo dan ibunya, Oemi Kalsum.

Orang tua Hoegeng berasal dari kalangan Ambtenaar alias pegawai atau pejabat pemerintahan Hindia Belanda. Ayahnya pernah bekerja sebagai kepala kejaksaan di Pekalongan. Hoegeng termasuk lahir dalam keluarga yang beruntung, karena dimasa penjajahan tidak sembarang orang bisa mengenyam pendidikan. Hanya dari strata tertentu yang bisa menikmati dunia pendidikan, seperti kalangan priyayi dan bangsawan.

Latar belakang keluarga memudahkan Hoegeng menuntut ilmu dari sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. Hoegeng menyelesaikan Hollands Inlandsche School, setingkat SD di Pekalongan pada tahun 1934. Setelah itu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat SMP, masih di Pekalongan. Tamat dari MULO kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Algemene Middelbare School, setingkat SMA di Yogyakarta.

Kecintaannya terhadap dunia polisi terlihat sejak kecil, ketika itu Hoegeng kecil begitu kagum dengan sosok Ating Natadikusumah yang berprofesi sebagai kepala polisi, dengan penampilan yang gagah, berwibawa dan suka menolong. Hal inilah yang mendorong Hoegeng bercita-cita sebagai polisi.

Ating Natadikusumah merupakan teman baik ayahnya sesama penegak hukum bersama dengan Soeprapto yang merupakan ketua pengadilan di Pekalongan. Ketiga orang inilah yang memberikan andil bagi penumbuhan sikap menghormati hukum bagi Hoegeng kecil.

Perjalanan menjadi seorang polisi tidak semudah yang dibayangkan. Banyak lika-liku mewujudkan cita-citanya di kepolisian. Ketika itu Hoegeng sempat berhenti kuliah di Recht Hoge School—Sekolah Tinggi Hukum di Batavia—akibat masuknya tentara Jepang ke Indonesia. Kedatangan Jepang merubah arah kebijakan yang selama ini dibangun Belanda yang lebih menitikberatkan persiapan dalam menghadapi Perang Asia Timur Raya.

Setelah melewati berbagai gejolak politik sebelum maupun pasca kemerdekaan,  pada tahun 1952 Hoegeng bersama 15 rekan seangkatannya, diwisuda dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan berhak memakai gelar Doktorandus dan merupakan lulusan angkatan pertama PTIK.

Setelah lulus, pada November 1952, Hoegeng ditugaskan ke Jawatan Kepolisian Provinsi Jawa Timur dan menjabat sebagai Wakil Kepala Direktorat Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN), kini satuan  Intelijen Keamanan, dengan pangkat Kompol.

Tidak lama berdinas di Polda Jatim, Hoegeng ditugaskan ke Medan sebagai Kepala Reserse Kriminal (reskrim). Pada masa itu Kota Medan terkenal dengan penyelundupan dan perjudian. Selain itu, dunia bisnis di dominasi etnis  Tionghoa, biasa disebut “Cina Medan”, mereka dikenal sangat ulet mendekati pejabat-pejabat, terutama dari Kejaksaan dan Kepolisian. Tentunya dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti menyuap demi memuluskan bisnis ilegalnya.

Setibanya Hoegeng di Medan dan benar saja ia mendapatkan sambutan hangat dari kelompok usaha Cina. Rumah pribadi dan mobil sudah disediakan oleh beberapa cukong perjudian. Namun Hoegeng menolak dan tetap ingin tinggal di hotel sembari menunggu rumah dinasnya.

Ketika Hoegeng akan pindah ke rumah dinas, ia terkejut, seisi rumah telah dipenuhi perabotan mewah. Hoegeng langsung memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan semua barang perabotan dan diletakan begitu saja di tepi jalan.

Dengan aksinya itu, gemparlah seisi kota Medan, ada seorang kepala polisi yang tak mempan disuap. Di Medan Hoegeng mengembangkan forum antikorupsi yang terdiri dari aparat hukum bersama tokoh sipil dan militer.

Setelah keberhasilannya dalam memberantas  pelaku bisnis ilegal di Kota Medan, Hoegeng ditarik kembali ke Jakarta. Januari 1960, Hoegeng bertemu Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/KASAB dan ditawarkan untuk menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Reputasi Hoegeng saat memimpin reskim di Medan dulu, menjadi dasar pertimbangan penunjukan Hoegeng demi meningkatkan citra dan kinerja jawatan tersebut.

Sejak bertugas di keimigrasian, Hoegeng menutup bisnis usaha bunga istrinya. Ia tak ingin orang-orang yang berurusan dengan imigrasi memborong usaha kembangnya demi mendapatkan fasilitas tertentu.

Selepas mengemban amanah tersebut, atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pada Juni 1965 Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara, kini Dirjen Pajak, yang bertugas mengumpulkan uang negara berupa bea cukai, pajak dan landrente atau retribusi tanah.

Bersama dengan Dirjen Bea Cukai, Padang Soedirdjo mereka menjadi pasangan yang kompak melakukan gebrakan mengatasi penyelundupan, penggelapan pajak, dan bea cukai. Hal lain yang menjadi sorotan Hoegeng selama menjabat ialah budaya katabelece yang merupakan nota permintaan khusus, sebuah budaya yang merusak birokrasi pemerintahan.

Kembali ke Barak

Setelah kurang lebih 6 tahun berdinas di luar kepolisian, pada 1966 ia kembali menjabat sebagai Deputi Operasi. Pada  1968 Hoegeng diangkat menjadi Panglima Angkatan Kepolisian. Selama menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng dihadapkan dengan beberapa kasus yang menjadi perhatian masyarakat seperti Sum Kuning, penyelundupan Robby Tjahjadi dan tewasnya Rene Coenrad.

Peristiwa “Sum Kuning” terjadi pada September 1970, seorang wanita  penjual telur ayam bernama Sumarijem yang melapor ke Polisi atas tindakan pemerkosaan terhadap dirinya. Di Persidangan Sum panggilan akrabnya justru malah dijadikan tersangka.

Terdapat saksi pada peristiwa Sum Kuning yakni Budiono, ia menceritakan bahwa ada keterlibatan panggede atas insiden tersebut. Budiono melihat ketika Sum dimasukan ke dalam mobil oleh 4 orang tersebut.

Jalan terjal dihadapi Hoegeng ketika mengungkap kasus Sum Kuning secara terang benderang, hal ini karena adanya intervensi Soeharto yang menginstruksikan agar perkara tersebut dilimpahkan ke Team Pemeriksa Pusat Kopkamtib. Peristiwa ini kabarnya melibatkan putra/bangsawan Yogya dan Pahlawan revolusi dan diselesaikan dengan cara yang berliku-liku.

Menjerat Robby Tjahjadi

Pada 1968 perekonomian Indonesia masih dalam keadaan terpuruk akibat dampak prahara politik 1965-1966. Namun saat itu ada sebuah pemandangan yang cukup kontras, di beberapa kota terutama Pulau Jawa, cukup banyak mobil-mobil mewah berseliweran di jalanan.

Hoegeng mengamati perkembangan tersebut, ia mendapatkan informasi dari rekannya di bea cukai dan kepolisian, bahwa sedang maraknya aksi penyelundupan mobil mewah melalui jalur pelabuhan di Tanjung Priok.

Polisi mulai bergerak, bersama tim reserse ekonomi mereka menangkap pelaku dengan barang bukti 4 mobil Mercedes. Namun ketika ingin diajukan kejaksaan tinggi Jakarta Raya, kejaksaan memutuskan perkara dan pelaku lolos dari jeratan hukum. Polisi merasa dipecundangi akibat insiden tersebut.

Pada 1966 polisi kembali menebar jerat dan mempergoki kelompok Robby Tjahjadi bersama kakaknya sedang melakukan penyelundupan mobil. Setelah beberapa jam diringkus di Komando Daerah Kepolisian VII Jakarta Raya, seseorang yang berkuasa telah menjamin keduanya dan dibebaskan.

Tiga tahun berselang akhirnya Robby Tjahjadi dijatuhi hukuman. Usai bebas menjalani masa hukuman, Robby kembali berbisnis. Ia membangun Kanindotex usaha yang bergerak di Bidang tekstil dan bermitra dengan keluarga Soeharto.

Pemberhentian Sebagai Kapolri

Akibat keuletan dalam membongkar beberapa kasus besar yang menghebohkan publik. Akhirnya Presiden Soeharto memberhentikan Hoegeng dari jabatan Kapolri, meskipun belum pada waktunya. Dengan alasan peremajaan, tetapi Kapolri pengganti Hoegeng, usianya dua tahun lebih tua dibanding dirinya. Pemberhentiannya sebagai Kapolri disampaikan melalui surat dinas dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Maraden Panggabean, berisi pemberitahuan atas penunjukan Hoegeng sebagai duta besar di negara Eropa.

Namun Hoegeng menolak penunjukannya sebagai duta besar karena tidak memiliki kemampuan dalam bernegosiasi dan memilih keluar dari kepolisian. Akibat Insiden pemberhentian tersebut, menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan Pers. Majalah berita, Ekspress, bahkan menjadikannya sebagai The Man Of the Year 1970. Ada yang menduga pemberhentiannya sebagai Kapolri disebabkan figur Hoegeng yang terlalu populer di kalangan Masyarakat dan Pers.

Dugaan paling kuat karena Hoegeng berhasil membongkar penyelundupan mobil-mobil mewah yang dilakukan kelompok Robby Tjahjadi. Aris Santoso dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Bangsa para Pempimpin Bangsa menyebutkan kejahatan yang menyangkut uang Rp 2,1 miliar ini kabarnya melibatkan pula sejumlah pejabat dan perwira tinggi ABRI.

Hari-Hari Setelah Pensiun

Setelah tak lagi menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng mengisi waktu kosongnya dengan melukis, bernyanyi, dan bermain alat musik. Hoegeng juga mengisi acara Musik Hawaiian di radio Elshinta dan TVRI. Hoegeng sempat menjadi presenter dalam “Obrolan Mas Hoegeng” acara ini hanya sekedar obrolan namun menjadi top program radio Elshinta dimasa itu. 

Acara ini pun disukai masyarakat, hal ini karena kritikan-kritikannya yang mengena. Namun kritikan bersifat membangun dan bisa diterima oleh para pendengar. Tema yang sering dibawakan berkaitan dengan keadilan dan ketertiban.

Namun, setelah 10 tahun lamanya tampil di Elshinta dan TVRI acara tersebut dilarang tampil di televisi, sejak Hoegeng ikut terlibat menandatangani  petisi 50 pada 1980.

Petisi 50  merupakan gerakan kelompok kritis yang menyatakan keprihatinan terhadap kondisi pemerintahan pada kala itu. Namun pemerintah mempersepsikan petisi 50 layaknya pembangkangan  yang berusaha menggerogoti kewibawaan dan kekuasaan.

Akibatnya para anggota petisi 50 banyak mengalami pencabutan hak-hak sipil seperti pencekalan, larangan bepergian ke luar negeri, tidak diikutsertakannya dalam hari ulang tahun Kepolisian maupun ABRI serta  kesulitan dalam mengajukan kredit dan pengucilan-pengucilan lainnya.

Akhir Hayat

Rabu 14 Juli 2004, Hoegeng Imam Santoso meninggal dunia. Penyakit stroke dan beberapa penyakit lainnya menggerogoti tubuh rentannya. Meninggal di usia 82 tahunnya, kepergian Hoegeng meninggalkan jejak-jejak keteladanan. Ia meninggalkan sebuah bangsa yang masih bergelut dalam masalah Korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun prinsip akan kesederhanaan dan hidup lurus selalu Hoegeng pegang sepanjang hayatnya.

Hoegeng berpendapat pemerintah yang bersih harus dimulai dari atas, layaknya seperti kita mandi membersihkan diri yang selalu dimulai dari kepala. Dan bagi mereka yang haus kekuasaan Ia berpesan:

“Memang baik menjadi orang penting tetapi lebih penting menjadi orang baik.”


Ilustrator foto: Rasgina Cahyani


Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *