Realita Kekerasan Seksual di Kampus: Nalar dan Empati yang Mati


Penulis: Nurul Fitri


Tindak kekerasan seksual marak terjadi pada ranah pendidikan. Bagaikan gunung es, kasus kekerasan seksual satu persatu muncul menciptakan deretan panjang yang tak pernah terduga sebelumnya.

Pada Sabtu (12/3) Forum Pers Mahasiswa Riau (Fopersma) menaja diskusi yang membahas fenomena ini. Dengan tema Kolaborasi Pers Mahasiswa Riau: Realita Kekerasan Seksual di Kampus, Apa Kata Akademisi?

Survey Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2020 menunjukkan fakta, ada 77% dosen di seluruh Indonesia mengakui bahwa kekerasan seksual ada di kampusnya. Hal ini berarti tidak adanya laporan, maka belum tentu tidak ada kekerasan seksual yang terjadi.

Dalam pasal 1 ayat 1 RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) dituliskan, Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik yang mengarah kepada tubuh dan/ atau alat reproduksi secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual dan kerugian secara ekonomis.

Tindak kekerasan seksual ini bukan hanya mengancam perempuan tapi juga laki-laki. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian (INFID) tahun 2020, ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.

Fajarwati Kusumawardhani, S.Sos., MPA—Ketua PSKP (Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan) UNILAK—yang menjadi salah satu pembicara pada forum ini mengatakan bahwa budaya patriarki masih sangat subur. Apalagi  pandangan gender tentang perempuan seharusnya feminim, dan laki-laki seharusnya maskulin menjadi salah satu penyebab terbesar kekerasan seksual sulit untuk ditangani.

Pada kenyataannya, laki-laki penyintas kekerasan seksual juga jarang ada yang mau berbicara. Lagi-lagi, hal ini disebabkan oleh ketakutan korban pada kacamata masyarakat yang akan memandang rendah.

Berbicara mengenai korban atau penyintas dari tindak kekerasan seksual ini, kata Fajarwati, perlu disoroti bagaimana masyarakat itu sendiri memperlakukan korban. Dimana saat terjadi tindak kekerasan seksual ini cenderung menjatuhkan semua kesalahan pada korban.

“Saat seorang korban mengatakan bahwa dia dilecehkan, orang-orang akan mencecarnya dengan pertanyaan ‘Apa kamu punya bukti?’ atau ‘Ah yang bener. Jangan-jangan kamu memang sengaja menggoda’ kecenderungan ini disebut sebagai blaming victim,” kata Fajarwati.

Kondisi ini semakin diperparah akan kepercayaan masyarakat kepada pelaku. Kata Fajarwati, pelaku justru tidak dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan seperti halnya korban. Ada pula pernyataan sepihak yang menyakitkan korban kekerasan seksual.

Menganyam pernyataan Fajarwati, dosen Universitas Riau, Yusnarida Eka Nizmi, M.Si menutur pentingnya membangun nalar dan empati terhadap penyintas kekerasan seksual.

“Saat berbicara tentang kekerasan seksual, dua hal yang sering sekali terabaikan dan mati. Yaitu soal nalar dan empati,” ungkap Yusnarida.

Perjuangan dalam kasus-kasus kekerasan seksual sering kali menghadapi jalan terjal, sulit diperjuangkan. Penyebabnya karena tak mendapat simpati masyarakat. Ini tentang edukasi pendidikan gender dan sistem yang sering terlambat memberi respon. Lebih lagi ada relasi kuasa yang timpang.

Lebih lagi, kata Yusnarida, bila terjadi kekerasan seksual, maka setidaknya ada empat hal yang harus ada. Pertama, Membangun sistem layanan tempat bagi korban dengan didasari tiga prinsip: perlindungan, kerahasiaan, dan kesetaraan.

Kedua, membuat regulasi penanganan dan sanksi yang jelas bagi pelaku. Ketiga, membentuk tim investigasi independen yang melibatkan seluruh elemen kampus. Dan yang terakhir penyediaan layanan psikolog atau psikiater, penanganan fisik dan tempat perlindungan apabila korban terancam.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau (UIR), Yanwar Arief, S. Psi., M. Psi juga menyatakan hal yang sama, bahwa layanan bimbingan konseling harus diperhatikan.

Yanwar menyoal tentang penyebab terjadinya kekerasan seksual. Dimana terdapat keinginan seksual atau hasrat yang menjadi keinginan awal si pelaku. Keinginan ini turut dilatarbelakangi kepada hal-hal yang jauh lebih pribadi. Seperti pola pikir, kepribadian, trauma masa lampau, maupun gangguan seksualnya.

Permendikbudristek 30 tahun 2021, membawa angin segar sekaligus rasa aman bagi dunia pendidikan dari bayang-bayang kejahatan tindak kekerasan seksual, kata Dr. Mustiqo Wati Ummul Fithiyah,  Kepala Studi Gender dan Anak UIN Suska Riau.

Walaupun ini membelah opini publik menjadi pro dan kontra tentang frase ‘tanpa persetujuan korban’, kata Mustiqo, secara substansi, sesungguhnya semua kelompok setuju bahwa kekerasan Sseksual­­­ merupakan pelanggaran martabat kemanusiaan yang dilarang semua agama.

Lebih lanjut bahwa frase ‘tanpa persetujuan korban’ menegaskan bahwa hanya korban yang berhak mengungkapkan atau menyatakan setuju tidaknya.

“Frase ini sesungguhnya diungkapkan dalam konteks pidana pemaksaan. Bukan pernyataan pernyataan tentang aktivitas seksual yang boleh atau tidak boleh. Jadi ketakutan bahwa frase ‘tanpa persetujuan korban’ akan melegalkan zina adalah ketakutan yang sama sekali tidak berdasar. Peraturan ini hanya tentang Pencegahan dan Perlindungan dan hal tersebut adalah syar’i. Karena peraturan dan budaya serta syari’at agama itu sendiri harus berjalan beriringan untuk bersama-sama menciptakan kemaslahatan. ” tegas Mustiqo.


Foto: Dian Rahma Sari

Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *