Dangkal Memahami Logika Pers, Buntut Pembredelan LPM Lintas IAIN Ambon


Penulis: Gerin Rio Pranata


Surat Keputusan (SK) Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon Nomor 92 Tahun 2022 resmi diteken oleh Zainal Abidin Rahawarin pada Kamis (17/3). SK tersebut mengatur tentang Pembekuan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon. Rektor memutuskan membekukan LPM Lintas hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Pembekuan LPM Lintas ini buntut dari terbitnya Majalah Lintas pada Senin, 14 Maret 2022. Dimana terdapat liputan khusus yang bertajuk IAIN Ambon Rawan Pelecehan. Majalah tersebut membongkar 32 kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon sejak 2015-2022. Sementara terduga pelaku sebanyak 14 orang berasal 8 dosen, 3 pegawai, 2 mahasiswa, dan 1 alumnus. Dengan jumlah korban 32 terdiri dari 25 perempuan dan 7 laki-laki.

LPM Lintas sendiri telah  menelusuri kasus pelecehan seksual ini terhitung sejak tahun 2017.

Kronologis Pemukulan Awak LPM Lintas

Selasa, 15 Maret 2022—sehari setelah majalah tersebut terbit—dua awak LPM Lintas dipukul dua orang tidak dikenal. Adapun yang menjadi korban pemukulan ini yaitu, Muh Pebrianto yang menjadi desain grafis, dan M. Nurdin Kaisupy, jurnalis yang terlibat dalam liputan khusus bertajuk IAIN Ambon Rawan Pelecehan.

Pemukulan bermula ketika Ketua Jurusan Sosiologi Agama di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (Uswah) Yusup Laisouw mendatangi sekretariat LPM Lintas. Yusup keberatan dengan kasus tersebut dan menyebut laporan ini melanggar kode etik.

Yusup mendesak Pebrianto dan Nurdin untuk memanggil penanggung jawab majalah. Ia mengancam akan membawa keluarganya menyeruduk sekretariat Lintas jika tidak bertemu penanggung jawab majalah. “Sekarang telepon dong (mereka) datang kemari. Kalau tidak, wallahi billah, beta suruh masyarakat datang,” kata Yusup, mengancam. “Beta kasih tahu ini, beta siap tanggung jawab,” ujar Yusup dilansir lpmlintas.com.

Selang lima menit setelah Yusup meninggalkan kantor LPM Lintas, datang tiga pria yang mengaku sebagai keluarganya. Ketiga pria, yang diduga mahasiswa IAIN Ambon ini pun menuduh berita kekerasan seksual tidak sesuai fakta.

Salah satu dari mereka juga sempat membanting majalah Lintas ke lantai. Sempat ditegur Nurdin, tidak lama setelah itu ia melayangkan tinju ke dada Nurdin. Di waktu bersamaan, Pebrianto pun ditendang pria tersebut karena merekam peristiwa intimidasi di sekretariat LPM Lintas.

Tidak hanya memukul dan menendang, tiga pria yang mengaku saudara Yusup, memukul kaca jendela kantor Lintas hingga berserakan di lantai. Mereka pun berusaha merangsek masuk kantor organisasi untuk kembali memukul Pebrianto dan Nurdin, tapi datang sejumlah anggota LPM Lintas untuk melerai.

Melalui pesan WhatsApp, AKLaMASI menghubungi Yolanda Agne—Pimpinan Redaksi LPM Lintas. Menurutnya, pemukulan oleh tiga pria tersebut kepada Nurdin dan Pebrianto merupakan langkah yang salah.

“Seharusnya jika ada pihak yang keberatan bisa menggunakan hak jawab. Bukan main pukul. Pemukulan tersebut juga merupakan menghalangi kerja pers. Dan itu sangat salah,” ujar Yolanda.

Detik-Detik Pembredelan

Buntut terbitnya Majalah Lintas yang bertajuk IAIN Ambon Rawan Pelecehan tidak hanya berhenti pada pemukulan dua awak LPM Lintas.

Pada Rabu, 16 Maret 2022 LPM Lintas bertemu dengan pihak lembaga dalam rapat Senat Institut. Rapat yang dipimpin oleh Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan (AUAK) Jamaludin Bugis. Rapat ini mengagendakan LPM Lintas untuk membuktikan bahwa berita yang diturunkan bukanlah berita bohong.

Dalam rapat tersebut Jamaludin meminta Yolanda untuk untuk memperlihatkan bukti beserta nama korban dan pelaku kekerasan seksual di IAIN. Yolanda tidak mengindahkan perintah tersebut. Hal ini dilakukan demi menjaga keamanan korban dan menjalankan kode etik jurnalistik yakni tidak membocorkan informasi korban kekerasan seksual.

Yolanda meberikan syarat kepada pihak rektorat jika ingin meminta data korban dan bukti. Ia meminta pihak kampus untuk membentuk tim investigasi terlebih dahulu.

Hal ini sesuai dengan regulasi dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Setelah itu pihak redaksi akan membantu kampus untuk terhubung dengan korban.

Yolanda mengungkapkan, pihak rektorat bersikeras untuk minta data tersebut. Pihak LPM Lintas menolak hal ini dan Jamaludin mengancam akan membredel Lintas karena tidak dapat menyampaikan bukti beserta data korban dan pelaku.

“Akhirnya rapat selesai dengan kesimpulan pihak kampus menganggap kami menyebarkan berita bohong. Kami dibredel,” ujar Yolanda dalam laporan Tempo berjudul Anggota Pers Mahasiswa Lintas Dianiaya, Rektor IAIN Ambon Bredel Pers Kampus.

Lebih lanjut, Yolanda mengutuk segala bentuk tindakan pembredelan yang dilakukan oleh pihak Rektorat IAIN Ambon terhadap LPM Lintas.

“Karena dengan pembredelan ini bukan menjadi solusi bagi masalah kekerasan seksual di kampus,” ucapnya.

AJI Ambon Kecam Persekusi Terhadap Dua Awak Redaksi LPM Lintas

LPM Lintas tidak berdiam diri dan sudah menggandeng Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Kota Ambon dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk masalah pembredelan dan pemukulan. 

“Untuk kasus pemukulan sudah dalam proses meminta keterangan dari korban,” kata Yolanda.

Menyikapi hal ini, AJI Ambon mengecam sikap sejumlah orang yang memukul dua orang awak redaksi LPM Lintas. Pemukulan ini menghambat dan membatasi jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik di ruang publik dan jelas-jelas menyalahi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers yang di dalamnya menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Berdasarkan pers rilis AJI Ambon, terdapat 4 butir pernyataan sikap. AJI Ambon mengecam tindakan arogan orang suruhan Yusup Laisouw yang melakukan pemukulan jurnalis kampus Muh Pebrianto dan M Nurdin Kaisupy.

Lebih lanjut, tindakan atau perbuatan menghalangi kegiatan jurnalistik adalah perbuatan melanggar UU Pers No 40 Tahun 1999 pada Pasal 18 Ayat (1) yang menyebutkan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

AJI Ambon juga menuliskan, kekerasan terhadap jurnalis di Maluku tiga tahun terakhir, baik fisik maupun verbal mayoritas dilakukan oleh oknum negara atau pemerintah, serta orang suruhan pemerintahan dan lembaga hukum. AJI juga mengimbau kepada masyarakat tidak melakukan tindakan kekerasan kepada jurnalis.

Tanggapan Pers Mahasiswa di Indonesia

Melihat kasus pembredelan tersebut, berbagai kalangan pers mahasiswa turut memberikan pernyataan sikapnya terhadap kasus tersebut.

Bangkit Adhi Wiguna, Pemimpin Redaksi BPPM (Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa) Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan, pembredelan menjadi cara yang dangkal dalam menyikapi pernyataan media, terutama pers mahasiswa.

“Pernyataan media seharusnya disikapi secara kritis dengan membaca berita tersebut secara utuh terlebih dahulu. Apabila memuat fakta, pernyataan-pernyataan media tersebut tentu dapat bermanfaat untuk memperbaiki tatanan sosial yang dikritiknya,” ujar Bangkit.

Walaupun menurutnya, jika memuat kebohongan, pernyataan media bisa saja malah memperburuk keadaan. Bangkit menegaskan bahwa pembredelan tidak menjadi solusi untuk menghadapi pernyataan media yang dinilai salah.

“Alih-alih membredel, pihak yang merasa dirugikan hendaknya mampu menyajikan data tandingan yang lebih sesuai fakta. Cara-cara itu lebih sesuai dengan fungsi pers, yakni memantik diskursus dan perdebatan, yang mana diperlukan di sebuah negara demokratis,” katanya.

Pimpinan Redaksi LPM Gagasan, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau, Annisa Firdausi cenderung skeptis terhadap pihak Rektorat IAIN Ambon. Dimana pembredelan LPM Lintas cenderung aneh dan mencurigakan.

Menurut Annisa, pihak Rektorat IAIN Ambon terkesan menutupi fakta kekerasan seksual yang terjadi di Kampus Hijau—julukan IAIN Ambon—dengan membredel LPM Lintas.

Lebih lanjut, ia sepakat dengan cara Yolanda dalam menjaga identitas korban ketika dimintai data korban oleh pihak rektorat ketika rapat senat. Menurut Annisa, hal tersebut sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik dalam menjaga identitas korban kekerasan seksual.

“Ditakutkan nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apabila data korban diungkapkan ke pihak IAIN Ambon,” tuturnya.

Sementara itu, Pimpinan Umum LPM Mercusuar Universitas Airlangga, Primanda Andi Akbar turut prihatin dengan kondisi yang dialami oleh kameradnya di LPM Lintas. Ia juga mengecam keras tindakan dari IAIN Ambon yang membredel LPM Lintas secara paksa.

“Saya berencana bersama dengan kawan-kawan di LPM kampus saya membuat pernyataan sikap melalui sosial media yang menuntut agar pemberedelan LPM Lintas dicabut oleh pihak IAIN Ambon. Langkah tersebut saya tempuh sebagai upaya untuk berempati terhadap teman-teman yang sama-sama berstatus sebagai pers mahasiswa,” ujarnya.

Tidak Memahami Logika Pers, Buntut Pembredelan Pers Mahasiswa

Kasus pembredelan LPM juga pernah terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU). Ketika itu LPM Suara USU dibredel oleh pihak kampus karena menerbitkan cerpen yang membawa tema LGBT (Lesbi, Gay, Bisexual, dan Transgender). Pihak Rektorat USU juga membredel LPM Suara USU seperti halnya yang terjadi pada LPM Lintas di IAIN Ambon.

Menurut Primanda, pihak kampus cenderung menganggap bahaya keberadaan pers mahasiswa. “Apalagi jika pemberitaan dari pers kampus tersebut berisi mengenai kebobrokan dari kampus, justru itu akan merugikan pihak kampus,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prima mengungkapkan bahwa pihak kampus merasa pers mahasiswa telah membuat malu nama instansi kampus sehingga tujuan dari pihak kampus untuk memperoleh simpati dari masyarakat pun akan berkurang.

“Otomatis dari situ, masyarakat yang ingin memperoleh gelar pendidikan lebih tinggi pun akan mikir dua kali jika memasuki kampus yang bermasalah, maka dari itu tidak heran jika pembredelan pers mahasiswa sering terjadi di Indonesia,” imbuhnya.

Mengomentari fenomena pembredelan pers mahasiswa, Bangkit mengungkapkan, pembredelan pers kampus akibat tidak memahami logika pers.

“Kebanyakan kampus masih menganggap bahwa pers mahasiswa seharusnya membuat berita-berita mengenai prestasi dan inovasi kampus semata, seperti humas kampus,” ucapnya.

Lebih jauh dari itu, pers mahasiswa memiliki fungsi sebagai kontrol sosial. Bangkit mengatakan, “Oleh karenanya, produk-produk pers mahasiswa lebih kritis dan lebih banyak menyoroti permasalahan-permasalahan kampus. Logika ini lah yang tidak dipahami oleh kebanyakan kampus yang membredel pers mahasiswa.”

Sedangkan Yolanda mengatakan, “Pihak kampus masih menganggap pers kampus sama dengan humas sehingga jika mengkritik, maka pihak kampus menganggap hal itu salah dan menggunakan kekuasaan untuk membredel.”


Foto: Majalah Edisi II Lintas – LPM Lintas IAIN Ambon

Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *