Vonis Bebas Syafri Harto, Kuasa Hukum: Tak Bawa Kepuasan dan Kegembiraan bagi Penyintas


Penulis: Salma Siregar


Dekan nonaktif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Riau, Syafri Harto divonis bebas oleh Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru. Putusan diambil dengan dahlih karena tak terbukti melakukan perbuatan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya, LM.

Putusan ini dibacakan pada Rabu (30/3) di ruangan Prof Oemar Seno Adji. Dimana Syafri Harto dan penasehat hukumnya hadir secara virtual.

“Mengadili menyatakan terdakwa Syafri Harto tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan primer dan subsider,” putusan disampaikan Ketua Majelis Hakim Estiono pukul 10.00 WIB.

Ada beberapa pertimbangan majelis hakim atas vonis bebas itu. Pertama, tidak ada bukti kekerasan dan pengancaman yang dialami korban LM oleh Syafri Harto. Karena dakwaan primer tidak terbukti, dakwaan tidak dapat diterima.

“Tidak ditemukan adanya kekerasan. Terdakwa tidak ada mengancam saudara saksi LM saat bimbingan proposal. Terkait adanya relasi yang tidak berimbang menurut majelis tidak bisa dijadikan alasan karena tidak ada ditemukan kekerasan dan kekerasan psikis,” kata Hakim.

Kedua, tak ada bukti bahwa terdakwa dengan kedua tangannya memegang badan korban sambil berkata “bibir mana bibir” kepada korban. Syafriharto membantah mengucap kata “I love you” hingga mencium pipi sebelah kiri, kanan, dan kening korban.

Ketiga, hakim menilai tidak ada saksi di kasus itu yang dapat membuktikan terjadi kekerasan seksual. Sebab, semua saksi di kasus itu hanya mendengar testimoni dari saksi LM.

“Berdasarkan fakta di persidangan hanya saksi LM yang menerangkan terdakwa mencium kening, pipi dan menyebabkan saksi trauma, panik dan halusinasi. Saksi lain hanya mendengar cerita dari saksi LM. Keterangan saksi saja tidak cukup, menurut KUHAP saksi adalah orang yang melihat, mendengar langsung perkara pidana yang dialami sendiri,” kata hakim.

Pengacara korban dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Rian Sibarani, mengaku sangat kecewa atas putusan tersebut.

Dengan putusan bebas ini, dinilai mencederai penanganan pelecehan seksual. Rian yang hadir langsung di persidangan menilai pertimbangan tidak tepat. Dia mengatakan hakim hanya berpatokan pada keterangan saksi yang dinilai kurang.

“Dalam pertimbangan hakim menilai tuntutan jaksa tidak terbukti karena kekurangan saksi. Hakim ini tidak melihat Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penanganan Perkara Perempuan di Pengadilan. Kita sangat kecewa dengan putusan ini. Kita berharap upaya kasasi dari JPU atas kasus ini,” katanya.

“Tentunya kami menghormati putusan majelis hakim hari ini. Meskipun ini tidak membawa
kepuasan dan kegembiraan bagi penyintas dan keluarga,” lanjut Rian.

Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) Fisip Universitas Riau turut hadir di persidangan.  Agil Fadlan—Ketua Advokasi dan Pendamping Korban merespons dengan penuh kekecewaan.

Menurut Agil, bila berbicara saksi dan bukti, tentu dalam kasus pelecehan seksual tidak akan ada saksi yang melihat atau mendengar langsung, atau bukti yang sangat mengarah ke kejadian tersebut.

“Perlu adanya penggalian dan pemeriksaan khusus terhadap perkaranya. Hakim tidak memandang hal tersebut, dan kami mahasiswa UNRI mendesak jaksa agar serius mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung demi keadilan korban” ungkap Agil saat dihubungi  melalui pesan WhatsApp pada, Sabtu (02/02) lalu.

Agil berharap jika kasus ini masuk kasasi nantinya, hakim di Mahkamah Agung agar dapat melihat lebih jernih dan teliti perkara ini. Serta mengetahui bahwa perkara kekerasan seksual ini penentuan dari apakah korban masih bisa mendapat keadilan.

Editor: Rahmat Amin Siregar

Foto: Annisa Firdausi – LPM Gagasan UIN Suska Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *