Perjuangan Hak Pilih dan Lynching dari Ida Bell Wells

Wells memperjuangkan hak pilih perempuan keturunan Afrika-Amerika. Dia juga jurnalis yang kritis menulis terhadap penghukuman mati tanpa pengadilan yang diterima orang-orang kulit hitam.


Penulis: Cut Azzura Jaska


Tepat hari ini, pada 16 Juli 1862 seorang perempuan keturunan Afrika-Amerika pembela hak-hak sipil dan gender lahir. Dia adalah Ida Bell Wells –Barnett, jurnalis terkemuka dan guru pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Tahun-tahun kelam di waktu kelahirannya, dimana terdapat perang saudara di Amerika. Wells menerima status budak yang berasal dari kedua orang tuanya. Walau ini tak berlangsung lama, belum sempat menginjak umur satu tahun, perang saudara berakhir berkat Proklamasi Emansipasi yang dikeluarkan oleh Abraham Lincoln. Keluarga Wells pun terbebas dari perbudakan.

Pada masa rekonstruksi ini, orang tua Ida mulai aktif di partai politik. Ayahnya, James ikut terlibat dengan Freedman’s Aid Society dan membantu mendirikan Universitas Shaw—sekarang Rust College—untuk para mantan budak menimbah ilmu.

Rust merupakan sebuah perguruan tinggi seni liberal kulit hitam yang bersejarah. Perguruan tinggi ini juga berafiliasi dengan United Modhistic Church dan menjadi salah satu diantara 10 perguruan tinggi kulit hitam bersejarah yang didirikan sebelum 1869 yang masih beroperasi hingga saat ini.

Mengerti betapa pentingnya pendidikan, Wells didaftarkan ke Rust. Namun, ia tidak dapat melanjutkan pendidikan karena perselisihan terjadi diantaranya dengan rektor universitas dan berujung pada Wells yang dikeluarkan dari Rust.

Menjadi Tulang Punggung Keluarga

Pada 1878, Holly Springs terserang demam kuning. Epidemi yang terjadi pada saat itu merenggut nyawa ayahnya, sang ibu Elizabeth Barnett, dan adik laki-lakinya yang masih bayi. Bencana itu menjadikan Ida Bell Wells kelima adik-adiknya anak yatim piatu.

Sebagai anak tertua, walau masih berumur 16 tahun, Wells menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di sebuah sekolah komunitas kulit hitam dengan cara yang tak biasa. Wells harus meyakinkan administrator sekolah bahwa ia telah berumur 18 tahun.

Sekitar empat tahun berlalu. Wells tinggal dan adik-adik perempuannya tinggal bersama bibinya di Memphis, Tennessee. Di sana ia mendapatkan kesempatan untuk mengajar di sebuah sekolah yang jaraknya 10 kilometer dari Memphis. Wells juga memanfaatkan waktu libur musim panasnya untuk kembali menempuh ilmu sebagai seorang pendidik di Universitas Fisk di Nashville.

Pada masa itu, Ida juga memulai karirnya sebagai seorang penulis untuk Negro Press Association. Ia juga menjadi editor untuk jurnal Memphis, Evening Star dan menulis artikel mingguan untuk majalah The Living Way dengan nama pena Lola.

Mengalami Perlakuan Rasisme

Seiring berjalannya waktu, masa rekonstruksi telah berakhir. Dikutip dari catatan Women and The American Stories (WAMS), secara bertahap hak dan kebebasan orang kulit hitam mulai dibatasi. Mereka bahkan diintimidasi dan juga menjadi korban kekerasan karena hukum baru memberlakukan segregasi rasial yang disebut dengan Jim Crow Laws.

Pada Mei 1884, Wells mengalami kejadian yang membuatnya sangat marah. Pasalnya, selama dua tahun ia menumpangi kereta yang sama, secara tiba-tiba ia diinstruksikan untuk meninggalkan gerbong khusus perempuan.

Wells dipaksa untuk duduk di gerbong khusus orang Afrika-Amerika. Tentu ia tak langsung menurut dan tetap bersikeras untuk duduk di gerbong khusus perempuan dengan tiket kelas satu yang sudah ia beli. Walau sudah menolak, para petugas tetap memaksanya keluar dari kereta tersebut. Kemarahannya pun memuncak, Wells menggigit salah satu dari petugas tersebut. Tak hanya sampai disitu, ia bahkan menuntut perusahaan kereta tersebut atas perlakuan buruk yang ia alami dan memenangkan 500 dollar dari penyelesaian kasus tersebut.

Namun, 3 tahun setelahnya Ida harus membayar 200 dollar dikarenakan Mahkamah Agung Tennessee membatalkan keputusan tersebut.

Semenjak kejadian itu, Wells banyak menulis tentang masalah ketidakadilan rasial dan ia menjadi reporter sekaligus memiliki sebagian dari surat kabar Memphis Free Speech. Walau harus kehilangan pekerjaannya sebagai guru karena telah mengkritik sekolah tempatnya bekerja secara blak-blakan. Tak patah arang semangat Ida Bell Wells, ia bahkan semakin meningkatkan kinerjanya dalam menulis, mengedit dan juga mempromosikan surat kabar. Serta tak bosan menuliskan kritiknya mengenai rasisme yang terjadi.

Aktivis Anti Hukuman Mati Tanpa Pengadilan (Lynching)

Terdapat masa dimana hukuman mati tanpa pengadilan sangat marak. Sekitar tahun 1890-an, tak sedikit orang-orang berkulit hitam yang mati karena dipukuli, digantung dan cara pembunuhan lainnya.

Mereka menuduh para korban telah melakukan pelecehan ataupun pemerkosaan terhadap wanita kulit putih. Hingga di 1892, terjadi People’s Grocery Lynching.

Kejadian tersebut merupakan kejadian dimana tiga orang Afrika-Amerika—Tom Moss, Calvin McDowell dan Will Stewart— harus meregang nyawa. Salah satu dari ketiga orang tersebut merupakan karib Wells. Mereka harus menghadap ajalnya hanya dikarenakan pesaingnya, yang berkulit putih tak terima disaingi oleh ketiganya.

Ini membuat Wells murka dan sangat marah. Ia pun bergerak untuk memulai kampanye anti hukuman mati tanpa pengadilan. Wells mengambil resiko untuk bepergian demi dapat menuliskan serangkaian opini tentang hukuman mati tanpa pengadilan.

Terdapat salah satu opininya yang membuat orang-orang berkulit putih merasa terpojokkan. Karena tak terima, mereka beramai-ramai menyerbu kantor surat kabarnya dan menghancurkan seisinya. Untungnya, pada saat itu Wells tengah berada di New York.

Peristiwa itu membuat Wells bahwa hidupnya terancam dan akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Chicago. Nama penanya, Lola, diganti menjadi Exiled yang berarti “diasingkan”. Disini, Wells tetap menuliskan laporan mengenai hukuman mati tanpa pengadilan di Amerika untuk New York Age, sebuah surat kabar yang dijalankan oleh mantan budak, T. Thomas Fortune.

Pada 1893, Ida Bell Wells menerbitkan The Red Record, sebuah hasil penelitian pribadi tentang hukuman mati tanpa pengadilan yang sudah dilengkapi dengan foto dan detail lainnya. Ia juga mulai mendirikan beberapa organisasi hak sipil, salah satunya National Association of Colored Women pada tahun 1896.

National Park Service juga mencatat Wells membawa kampanye anti hukuman mati tanpa pengadilan ke White House pada 1898 dan meminta Presiden William McKinley untuk melakukan reformasi.

Dari tahun 1898 hingga 1902, Wells menjabat sebagai sekretaris Dewan Afrika-Amerika Nasional. Ia menjadi delegasi dari Presiden William McKinley. Kemudian, pada tahun 1900 juga bergabung dengan W.E.B. Dubois untuk mempromosikan Gerakan Niagara—sebuah kelompok yang menganjurkan hak-hak sipil penuh untuk orang-orang kulit hitam.

Ida Bell Wells juga menghadiri konferensi National Association of Advancement Colored People (NAACP). Walau ia dianggap sebagai salah satu penemu, namun Wells tak pernah memperoleh posisi pimpinan. Tak lama setelahnya ia menjauhkan diri dari organisasi dikarenakan kepemimpinan kulit putih dan elit kulit hitam tersebut.

Memperjuangkan Hak Pilih

Wells percaya bahwa perempuan juga berhak untuk memilih. Ia mendirikan Alpha Suffrage Club (Hak Pilih Alpha) pada 1913. Organisasi ini menjadi organisasi hak pilih wanita kulit hitam yang terbesar di Illinois. Selain mendukung upaya perempuan untuk bersuara, Alpha Suffrage Club juga mengajarkan perempuan untuk aktif secara politik dan mempromosikan kandidat kulit hitam.

Sebagai pimpinan dari organisasi, Wells dan anggotanya menghadiri undangan untuk berbaris di parade hak pilih yang diselenggarakan di Washington, DC pada 1913. Namun diskriminasi ras belum juga usai. Penyelenggara acara meminta mereka untuk berdiri di barisan belakang karena takut menyinggung pendukung kulit putih.

Namun Wells, tentu, sekali lagi menolak, hingga penyelenggara mengalah. Pekerjaan yang dilakukan oleh Wells dan organisasinya memainkan hal penting dalam kemenangan hak pilih wanita di Illinois pada 25 Juni 1913 dengan disahkannya Illinois Equal Suffrage Act.

Pada 25 Maret 1931, di umurnya yang ke 68 tahun, Wells menghembuskan nafas terakhirnya di Chicago, Illinois. Ia meninggal diakibatkan gagal ginjal. Jasa-jasanya tak terkubur bersama jasad Wells. Di tahun 2020, Ida B. Wells dianugerahi Pulitzer Prize “untuk pelaporannya yang luar biasa dan berani tentang kekerasan yang mengerikan dan kejam terhadap orang Afrika-Amerika selama era hukuman mati tanpa pengadilan.”


Gambar: Cut Azzura Jaska

Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *