174 Tahun Perjuangan Konvensi Hak-Hak Wanita di Negeri Paman Sam


Oleh: Rizka Yani


“He for God only, she for God in him.”

Kalimat itu diucapkan oleh tokoh yang membawa pemikiran lama, juga seorang puritan, John Winthrop yang mengatakan bahwa tingkatan-tingkatan (hierarki) di dunia adalah sesuatu yang direstui Tuhan. Seolah memotret dengan persis tunduknya perempuan di hadapan laki-laki sejajar dengan tunduknya laki-laki di hadapan Tuhan.

Dari gagasan yang telah dikemukakan di atas, perempuan seolah ditakdirkan hidup di bawah kepemimpinan laki-laki. Terkurung dalam sebuah aturan dan kultur sosial yang diciptakan oleh seorang pria, para perempuan harus terpenjara dan hidup dalam kebisuan sampai akhir hidupnya.

Pada akhirnya keterbatasan kaum perempuan untuk menyuarakan pemikiran dan menunjukkan eksistensinya menjadi persoalan di Amerika ketika itu. Segala bentuk persoalan terkait kedudukan perempuan yang seharusnya menghadirkan kesetaraan dan kebebasan.

Hal inilah yang membuat Elizabeth Cady Stanton, salah satu pejuang abolisionis (kelompok yang menyuarakan penghapusan perbudakan) berhasil menggerakkan massa melalui aksinya untuk mendorong pembebasan kaum perempuan.

Elizabeth merupakan anak dari Daniel Cady seorang pengacara yang menangani banyak kasus hukum, salah satunya perihal perempuan. Ia juga belajar dari pelbagai kasus yang ditangani sang ayah, tetapi juga kerap kali merasakan kemarahan melihat situasi ketidakadilan, sehingga pernah berusaha melampiaskan kemarahannya dengan berencana menyobek buku undang-undang yang dimiliki Daniel.

Tahun 1833, Elizabeth menyelesaikan pendidikannya dan memilih kerumah sepupunya bernama Libby Smith. Kebetulan ayah Libby juga seorang abolitionis yang percaya bahwa seseorang harus diperlakukan setara dan tidak ada manusia yang bisa mengendalikan sesamanya.

Dengan semangatnya Elizabeth bersama teman-temannya, ada Lucretia Mott seorang abolisionis yang pernah ia temui di konvensi Anti-Perbudakan di London dan Susan. B. Anthony yang juga memiliki background yang sama.

Sepanjang tahun 1847-1849, Elizabeth bersama teman-temannya merencanakan Women’s Rights Convention di Seneca Falls. Pada tahap awal Elizabeth menuliskan pentingnya hak kepemilikan atas properti, anak, dan hak pilih bagi kaum perempuan. Elizabeth menganggap tanpa hak-hak tersebut perempuan tidak pernah bisa mengontrol atau menentukan hidupnya sendiri. Tidak hanya perihal properti, hak asuh anak, dan hak pilih, Elizabeth juga memperjuangkan eksistensi kaum perempuan di masyarakat dengan tetap menggunakan nama depan mereka—sebelumnya perempuan Amerika menggunakan nama keluarga ketika berada di publik.

Setelah delapan tahun berlalu, ketika Elizabeth mengungkapkan gagasannya untuk menyelenggarakan pertemuan kaum perempuan dengan Lucretia Mott, ia menuliskan pengumuman dan rincian pembicaraan yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut pada tanggal 14 juli 1847.

“KONVENSI HAK-HAK PEREMPUAN. Sebuah Konvensi untuk membahas kondisi sosial, sipil, dan agama serta hak-hak perempuan, akan diadakan di Kapel Wesleyan, di Seneca Falls, NY, pada hari Rabu dan Kamis, tanggal 19 dan 20 Juli, tahun ini; dimulai pada pukul 10 pagi. Pada hari pertama pertemuan akan khusus untuk para perempuan, yang dengan sungguh-sungguh diundang untuk hadir. Masyarakat umumnya diundang untuk hadir pada hari kedua, ketika Lucretia Mott dari Philadelphia, dan para perempuan dan laki-laki lainnya akan berpidato di konvensi,” tulis Elizabeth.

Konvensi ini dilaksanakan dari 19-20 Juli 1847 di Kapal Wesleyan, Seneca Falls, New York. Jamuan ini dihadiri hampir dua ratus perempuan.

Dari pertemuan ini dibacakan Declaration of Sentiments and Grievances. Deklarasi ini merincikan ketidakadilan yang dialami perempuan di Amerika Serikat dan meminta untuk mengorganisir dan mengajukan petisi tentang hak-hak mereka.

Dalam deklarasi ini muncul 12 resolusi namun hanya 11 yang disepakati dengan suara bulat, 11 resolusi tersebut menuntut perempuan dianggap setara dengan laki-laki. Mereka meminta agar perempuan memiliki hak yang sama didalam gereja dan akses yang sama didalam pekerjaan.

 “Adalah tugas para perempuan di negara ini untuk mengamankan hak mereka atas partisipasi dalam pemilihan umum,” isi dari resolusi nomor sembilan dalam deklarasi tersebut.

Walaupun sudah disahkan, konvensi ini menuai kecaman bahkan ejekan publik karena menyatakan hak perempuan berpartisipasi dalam pemilihan. Meski begitu resolusi tersebut merupakan tanda awal pergerakan hak pilih perempuan di Amerika.

Setelah konvensi itu berakhir, dua minggu kemudian diadakan pertemuan serupa yang lebih besar di Rochester, New York. Pasca konvensi tersebut, sudah banyak konvensi hak-hak perempuan yang diadakan setiap tahun nya dan fokus membahas gerakan hak pilih bagi perempuan.

Kini isu kesetaraan menjadi topik yang tidak pernah luput dari pembahasan oleh para perempuan yang terjebak dalam dunia maskulin. Dipenjara oleh norma sosial dan feminitas yang dibentuk oleh masyarakat, membuat perempuan terkurung dalam kata “kodrat” yang membuat akses mereka untuk bergerak berdasarkan intuisi pribadi terbatas.


Editor: Gerin Rio Pranata

Foto: Biography.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *