Gonjang-Ganjing Pasal RKUHP yang Ancam Hak Asasi


Penulis: Ludiana Mubarikah Surayya


Ada lebih dari 20 isu di pasal-pasal yang dinilai rancu dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini dikhawatirkan bisa menjadi senjata bagi penguasa atau pihak-pihak lain untuk mengekang hak asasi setiap orang. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru mengadakan diskusi dan konsolidasi publik yang menyoal pasal-pasal kontroversial di RKUHP tersebut.

Bertepatan di Rumah Gerakan Rakyat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Noval Setiawan, pengacara publik dari LBH Pekanbaru mengawali diskusi dengan isu tindak pidana kumpul kebo atau kohabitasi dalam Pasal 416, dimana tidak boleh ada orang yang belum terikat perkawinan hidup bersama.

“Nah ini harus diperjelas. Apa konteks negara mengatur hal itu? Apakah negara menganut suatu sistem negara tertentu? Jika begitu, tentu hilang negara Pancasila yang menganut beberapa keyakinan dan mengatur hak privasi seseorang,” ucap Noval pada acara yang bertemakan “RKUHP Ancam Hak Asasi dan #SemuaBisaKena” itu.

Terdapat tiga pasal kontroversial dalam RKUHP yang jadi sorotan utama diskusi pada Selasa, 15 Agustus lalu. Pertama, tindak pidana terhadap proses pengadilan pada Pasal 280, 282, 283 dan 284. Dalam konteks contempt of court, terdapat larangan pengambilan foto atau rekaman di ruang sidang tanpa seizin Ketua Majelis atau Ketua Pengadilan.

Pasal tersebut berpotensi mengganggu kerja-kerja pengacara, jaksa dan hakim yang dikhawatirkan menyalahgunakan kewenangannya juga melanggar etik selama persidangan. Sehingga masyarakat tidak dapat memiliki bukti kuat apabila ingin melaporkan pelanggaran tersebut kepada Komisi Yudisial atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Karena dalam laporan kode etik hakim, pelapor harus melampirkan bukti-bukti gambar maupun rekaman suara. Lebih lagi, kata Noval, konteks contempt of court ini juga berimbas kebebasan pers yang dikekang untuk menyampaikan kabar, informasi, dan fakta selama persidangan.  

“Ketika itu dilarang, tentu iklim pemantauan terhadap persidangan jauh dari keterbukaan dan pengawasan,” ujar Noval. Namun, terdapat pengecualian pada kasus-kasus bersifat privasi seperti kekerasan seksual.

Kedua, Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara pada Pasal 351-352. Dimana, kata Noval, RKUHP mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat karena mempidanakan orang-orang yang dinilai melakukan penghinaan terhadap pemerintah dan penguasa.

Konsep penghinaan terhadap presiden, kepala negara sahabat, pemerintah dan lembaga negara dalam Pasal 218-219 juga berpotensi melahirkan multitafsir. Lebih lanjut Noval menyebut semua pihak bisa kena jerat hukum pidana ini.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Riau, Zainul Akmal mengatakan, tidak ada kejelasan atas detail kategori penghinaan dalam RKUHP. Maka dari itu penting untuk mengatur kembali pasal penghinaan. Apalagi, pada dasarnya, ukuran penghinaan sendiri berbeda-beda, dan tergantung pribadi masing-masing orang.

“Tindak pidana penghinaan penting untuk diatur, karena menyangkut harga diri dalam konteks bernegara. Tapi permasalahannya adalah penegakannya. Penghinaan seperti apa? Tentu perlu dikaji ulang,” kata Zainul.

Sebelumnya, Noval memberi contoh bahayanya pasal tindak pidana ini bagi aktivis, mahasiswa, dan jurnalis. Bagaimana bila mahasiswa yang ingin melakukan demo dan pers yang mengkritik melalui tulisan akan dianggap melanggar hukum. Hal ini bersangkut pula pada kemampuan aparat dalam membedakan antara kritik dan penghinaan.

“Yang harus diatur adalah fitnah. Jika pasal penghinaan presiden mengacu pada fitnah, maka aparat penegak hukum bisa menafsirkan apa itu fitnah. Namun jika itu kritik, tentu jauh berbeda. Jika tidak diatur ulang, hal ini akan mengancam masyarakat, aktivis dan jurnalis,” jelas Noval.

Ketiga, adanya delik pidana bagi demonstrasi tanpa izin dalam Pasal 273 pada RUU KUHP tanggal 4 juli 2022.

Hal ini sangat dikhawatirkan, kata Noval, betapa negara sangat membatasi ruang sipil dalam berunjuk rasa. Para demonstran harus melampirkan surat izin kepada polisi sebelum melakukan demonstrasi, karena ditakutkan akan adanya ricuh. Jika tidak, maka akan dipidana penjara paling lama satu tahun pidana atau denda paling banyak kategori II.

“Aksi mana yang tidak ricuh? Kita pun gak tau asal muasal kericuhan itu. Apakah dari demonstran, atau justru dari aparat keamanan,” ujar Noval yang mengungkapkan munculnya pasal tersebut semakin memperjelas terkekangnya hak-hak masyarakat.

Padahal itu bertentangan dengan Pasal 13 UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang menyatakan unjuk rasa atau demonstrasi tidak perlu izin kepolisian. Penyelenggara unjuk rasa cukup menyampaikan surat pemberitahuan tertulis kepada kepolisian.

Boy Even Sembiring selaku Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, menyampaikan pendapatnya bahwa banyak pasal KUHP yang tidak mengatur asas proporsionalitas. Sehingga dalam praktik peradilannya, hakim merujuk pemenuhan-pemenuhan unsur tersebut pada doktrin kriminalisasi.

Dengan begitu Walhi mendukung penuh adanya aksi penolakan RKUHP yang sangat mengecam hak asasi masyarakat.

“Semua orang berhak menolak pengesahan RKUHP. Maka pembaruan RKUHP atau hukum pidana materil ini harus memperhatikan kerusuhan tindak pidana diluar RKUHP, tidak terlalu banyak perbuatan yang dikriminalisasi, dan tidak membuat penguasa dengan serta merta menafsirkan norma,” tutup Boy.


Editor: Rahmat Amin Siregar

Foto: Danu Harry Pratama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *