Kekerasan di Jaktim dan Desakan Pengesahan RUU PRT


Penulis: Lady Guslove


Peringatan: Tulisan ini mengandung konten eksplisit dan dapat memicu pengalaman traumatis; kami menyarankan anda tidak meneruskan membaca jika dalam keadaan rentan.

Koalisi Sipil untuk Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (UU PRT) mengadakan konferensi pers “Disiram Cabe dan Ditelanjangi, Kekerasan Pada Pekerja Rumah Tangga Terjadi Lagi”.

Konferensi pers ini diadakan pada Rabu, (26/10) melalui sambungan saluran virtual. Dihadiri oleh Eva Kusuma Sundari dari perwakilan Koalisi Sipil untuk UU PRT, Lita Anggraini  Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), dan Ceceng, paman dari korban.

Konferensi ini menyoroti kasus yang menimpa RNA (18) seorang warga Cianjur, Jawa Barat menjadi korban tindak kekerasan  oleh atasannya. Ia bekerja sebagai PRT Jakarta Timur, yang menerima kekerasan secara fisik dan kekerasaan ekonomi.

Awal mula kasus kekerasan PRT ditengarai akibat korban tidak dapat menjalankan pekerjaan sesuai perintah majikannya. Peristiwa ini lantas menyulut kemarahan majikannya, hingga berakibat pada tindakan kekerasan kepada korban.

Akibat insiden tersebut, Ceceng melaporkan peristiwa tindak kekerasan yang menimpa keponakannya ke Polda Metro Jaya. Dalam penuturan Ceceng, korban tidak hanya mengalami kekerasan fisik tetapi  juga mengalami kekerasan seksual.

Tidak hanya ditendang, RNA juga mengalami pukulan di bagian telinga hingga berdarah, selain itu disiram air cabai ke matanya, dan  beberapa hari kemudian RNA dipaksa telanjang lalu di video oleh pasangan majikan itu,” ujar Ceceng.

 Lebih lagi, selama bekerja korban juga tidak mendapatkan gaji sesuai dengan haknya. Ancaman bahkan datang kepada korban apabila berani melaporkan  kejadian tersebut.

 “Selama enam bulan bekerja RNA hanya mendapatkan gaji 2,7 juta. Dia juga diancam jika melapor, videonya bakal di sebarluaskan di media sosial,” imbuh Ceceng.

Menanggapi peristiwa tersebut, Lita Anggraeni mengatakan, salah satu penyebab kekerasan dalam PRT terus terjadi karena tidak adanya sistem yang melindungi PRT di Indonesia.

“Padahal PRT adalah pekerja yang berhak atas hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya,” terang Lita.

Ditambah lagi, saat ini terjadi kekosongan hukum pada peraturan perlindungan pekerja rumah tangga. Sehingga pengajuan RUU PRT yang telah digagas selama 20 tahun lamanya, perlu mendapatkan pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Kekosongan hukum menyebabkan praktek-praktek perbudakan modern terjadi didepan mata kita, dilakukan oleh siapa saja, dan berbagai profesi,” ungkapnya.

Lita juga menambahkan perlunya pembekalan terhadap pekerja rumah tangga (PRT). Pemerintah harus turut andil dalam memberikan pelatihan-pelatihan bagi PRT baik pra-bekerja maupun pasca-bekerja.

“Pelatihan ini bertujuan guna meningkatkan  ketrampilan PRT, sehingga tidak ada lagi korban yang serupa,” tutupnya.


Editor: Arif Widyantiko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *