JELAJAHRESENSI

17 Surat Cinta : Kisah Nyata di Balik Deforestasi di Indonesia


Penulis : Fitri Almaidah


September 2022, merupakan surat pertama yang dikirimkan kepada Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem dengan Tembusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai pembukaan hutan di Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 338 hektar.

Film dokumenter yang disutradarai oleh Dandhy Laksono yang berjudul “17  Surat Cinta” ditayangkan dalam Gala Premiere di Provinsi Riau pada Senin(25/11), yang sebelumnya telah ditayangkan di beberapa daerah seperti Kalimantan dan Aceh. Film ini diproduksi oleh Ekspedisi Indonesia Baru (EIB) berkolaborasi dengan berbagai organisasi lingkungan seperti Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan HAkA, Greenpeace Indonesia dan Pusaka Bentala Rakyat.

“17 Surat Cinta” memotret bagaimana nasib hutan yang parah di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh. Hutan ini merupakan hal yang penting karena menjadi rumah bagi hewan-hewan langka seperti harimau, gajah, badak, dan orangutan. Sayangnya, sejak tahun 2022, hutan ini dirusak dengan sangat cepat. Sampai akhir tahun 2024, sudah ada sekitar 2.000 hektar hutan yang hilang. Penyebabnya adalah pembuatan saluran air untuk mengeringkan lahan dan pembukaan lahan baru di hutan gambut ini.

Dimulai dari cerita tentang kerusakan hutan dari kawasan lindung Rawa Singkil. Film ini turut menunjukkan bagaimana kondisi hutan di seluruh Indonesia, dari ujung barat (Sabang) sampai ke ujung timur (Merauke), semakin memburuk. Selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia telah kehilangan hutan seluas 4,3 juta hektar, termasuk di kawasan yang seharusnya dilindungi.

Pola pembangunan yang dilakukan Jokowi selama masa jabatannya mengakibatkan hutan kian gundul, dan sering terjadi kebakaran hutan terutama di lahan gambut, serta masyarakat adat yang tinggal di hutan kehilangan tempat tinggal mereka. Penebangan hutan semakin banyak terjadi, terutama di hutan Papua yang merupakan hutan hujan terbesar yang menjdi benteng iklim di Indonesia.

Pada film ini juga dipaparkan bagaimana peran pemerintah yang abai dan  tidak mendengarkan suara-suara penolakan masyarakat adat seperti suku Awyu dan Moi yang enggan setuju dengan perluasan perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel dan Sorong. Begitu juga dengan suku Marind yang tidak ingin ada proyek pertanian besar-besaran di Merauke. Hingga banyak masyarakat adat lainnya turut bersuara dalam penolakan keras  untuk melindungi hutan dan tanah yang merupakan tempat hidup mereka.

Pola pembangunan yang sama juga dilakukan pada masa Pemerintahan Prabowo dengan tujuan pertumbuhan ekonomi 8 persen, yang berdampak dalam merugikan lingkungan dan masyarakat. Nama Prabowo sendiri saat ini sudah tercatat di 13 perusahaan yang menguasai lahan seluas 395.000 hektar. Hal ini menunjukkan adanya konsentrasi kepemilikan lahan yang sangat besar di tangan segelintir orang.

Lebih dari sekadar kisah hutan, film ini juga mengisahkan perjuangan gigih masyarakat sipil yang telah berupaya keras melindungi hutan di daerah tempat tinggal mereka. Tak hanya itu, mereka mengirimkan 17 surat resmi kepada Kementerian Kehutanan yang juga ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia saat itu untuk melaporkan maraknya aktivitas penebangan liar yang merusak Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan kawasan hutan lainnya di seluruh Indonesia.

Film dokumenter ini berhasil mengupas tuntas permasalahan deforestasi yang semakin mengkhawatirkan. Sayangnya, film ini masih terasa kurang lengkap karena belum menawarkan dalam memberi solusi yang dapat diterapkan oleh masyarakat luas.

Meskipun demikian, film ini tetap memiliki nilai yang sangat penting dalam langkah awal untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait lingkungan. Harapannya, film ini dapat menjadi pemantik bagi para pembuat kebijakan dan masyarakat untuk bersama-sama menggali jalan keluar dari krisis lingkungan yang dihadapi saat ini.


Editor : Annisa Rahma Aulia