Bekerja Keras Di Negeri Timur

cats

Di sisi kiri ruang Istana Siak telah berkumpul banyak orang, merapat di depan benda seperti lemari tinggi berwarna coklat. Mereka menunggu penjaga Istana menyalakan alat musik di dalamnya:piringan baja buatan akustik Jerman. Namanya Komet.Pengunjung  penasaran karena alat ini hanya ada dua di dunia, satu lagi di Jerman (siapa sumbernya?). Penjaga memutar engkolnya, tenaga kinetik muncul dari gulungan per, lalu suara perlahan. “Teng.. ting.. tong..” sedikit mirip dengan piano.
Sementara tak jauh dari sana ada meja panjang dan kursi-kursi kayu. Di bagian atas terdapat lampu kristal putih. Seorang laki-laki mengenakan baju kaos kuning menghadap ke platfon. Sepertinya ia tidak menghiraukan suara musik yang dulunya dihidupkan untuk menghibur sultan saat makan dan menyambut tamu. Tiba-tiba … “kling” … jatuh sebuah kaca kecil di atas meja. Pengunjung mengarah ke laki-laki itu. Ia cepat mengambil benda itu dan menyimpannya di gudang tempat membersihkan dan perbaikan alat istana. Koleksi barang kerajaan usianya memang sudah tua, jadi wajar ada yang retak atau lepas.
Beberapa saat alunan musik berhenti. Setelah tepuk tangan para pengunjung, penjaga istana menutup kaca lemari tempat penyimpanan Komet. Mereka pun berpencar kembali melihat-lihat koleksi benda-benda antik istana lainnya.
Laki-laki pembawa meteran tadi adalah Ahmad Syatori, ia sedang duduk di halaman belakang istana dekat pagar mengarah ke jalan.Suasana di sana cukup sepi dan cuaca sejuk meski siang hari. Di bawah pohon mangga yang sedang berbunga ia menggergaji beberapa onggokan kayu dan triplek. Tugas ini ia kerjakan sendiri. Ia sedang mebuat kotak-kotak untuk melindungi isi ruang istana dan beberapa benda dipindahkan sementara. Si’am seorang penjaga istana mengatakan gedung ini akan direnovasi. “lantai atas ada yang retak”, katanya.
Gedung ini terdiri dari dua lantai, di bawah ada enam ruang untuk menerima tamu dan sidang, sementara di atas ada sembilan, berfungsi untuk istirahat sultan, keluarga, atau kerabatnya. Banyak benda koleksi yang satu per satu harus dibuat tempat pelindungnya dari kayu oleh Ahmad. Secara bergantian barang di satu ruang dipindahkan terlebih dulu, lalu direnovasi. Dengan cermat ia mengukur penjang, lebar, tinggi peralatan seperti kursi singgasana sultan yang berbalut emas, payung, senjata kerajaan Melayu, replika mahkota kerajaan Siak, setanggi pembakar, canang, berbagai bentuk cenderamata dari negeri sahabat, lukisan foto-foto sultan, kursi dan meja yang terbuat dari kayu, kristal dan kaca, lampu kristal berwarna warni, Gramofon bernama Komet, dan lain sebagainya. untuk itu ia bekerja dari pukul delapan pagi sampai lima sore.
Berurusan dengan benda yang usianya lebih kurang satu abad itu ia harus ekstra hati-hati. Setelah mengukur di dalam istana ia langsung menuju tempat kerjanya, menyesuaikan ukuran kayu untuk alat di istana. Ada kotak peti 60 x 60 centi meter, untuk gramofon 3 x 150. Tangga tiga buah untuk gantungan lampu. Ukuran yang didapat dari benda istana ia ingat dalam ingatan saja, tanpa ditulis di kertas, lalu langsung ia ukur di papan.
Ahmad tinggal di kecamatan Bunga Raya sekitar 25 km dari Istana. Pukul enam tiga puluh pagi setelah meminum secangkir kopi ia mulai berangkat kerja dengan Honda Karismanya. Jalan yang ia lalui sudah diaspal dan kondisinya bagus sampai ke rumah, dalam jangka waktu satu jam ia sudah sampai. Hanya saja sepanjang perjalanan banyak mobil-mobil truk pengangkut sawit dan kiri kanan sebagian besar hutan. Ia bawa peralatan sendiri dari rumah seperti, paku, gergaji, dan pahat kayu. Sesampainya di sana ia langsung menuju gudang mengeluarkan triplek, biasanya lima buah sehari dan mengangkatnya satu persatu ke halaman di atas rumput tempatnya membuat kotak-kotak kayu. Triplek berukuran sekitar 1,5 x 2,5 m itu ia angkut sendiri. “ angkatnya satu-satu karena banyak orang lewat dan ruangnya sempit”, katanya.kalau kayu langsung dibawa mobil ke lokasi, akan tetapi kotak besar yang harus dipindahkan ke istana juga ia angkat sendiri.
“ tok.. tok.. tok..” suara paku dipukul palu.
“ kret.. kret.. kret..”, terdengar dari papan yang digergaji.
Dan “ tek.. tek.. tek..” saat ia memahat kayu.
Begitulah suasana saat Ahmad bekerja. Sesekali diselingi angin sepoy-sepoy yang menerbangkan serbuk sari dari atas pohon mangga.
Di sini ia digaji oleh proyek selama tiga bulan. Waktu itu baru tiga hari ia bekerja. Targetnya adalah menyelesaikan tujuh unit selama satu minggu. Walaupun berat mengangkat, Ahmad sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Sebelumnya ia pernah menjadi kuli bangunan selama dua belas tahun, dan operator alat berat, Beko membuat parit dan mengeluarkan kayu akasia di hutan Pelalawan. Hanya saja bekerja di hutan membuatnya terpaksa pulang satu tahun sekali. Di sana bergantian shif siang dan malam. “ alatnya kan gak pernah rusak, jadi kerja siang malam, kalau mati aja rusaknya” katanya. selain itu ia juga pekerja kebun sawit. Ia sekeluarga berasal dari Indramayu yang transmigrasi ke Sumatera.
Pakaian yang ia gunakan basah oleh keringat. Ketika malam hari telah tiba di rumah ia kadang merasakan sakit di lutut. Ini karena kecelakaan yang dialaminya tiga tahun lalu, jatuh dari bangunan saat memasang platfon setinggi empat meter.
“Kalau pegal di bahu nggak juga,” katanya.
Begitulah pekerjaan Ahmad sehari-hari demi menghidupi keluarganya, seorang istri dan seorang anak yang masih sekolah di TK. Lebih banyak ia menggunakan tenaga untuk menghasilkan uang. Di antara enam bersaudara, pendidikannya lah yang paling tinggi yaitu tamatan MTS.
“Jaman dulu susah mau sekolah waktu di Jawa ga ada biaya” katanya.
Ia tetap berharap kedepannya lebih baik. Ia ingin agar pemerintah memberikan kepada masyarakat yang paling utana adalah pendidikan, keahlian, dan modal.
“Kalau cuman dikasih uang terus nanti manja.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *