TAMU

Puisi Menurut Kunni

PEKANBARU, UIR, aklamasi.net-Kunni Masrohanti ialah pegiat teater dan salah satu penyair perempuan di Riau. Perempuan yang memiliki panggilan akrab Kunni itu lahir pada 11 April 1974 di Siak. Ia adalah anak ke tiga dari lima bersaudara.

Kesibukan Kunni sekarang adalah membina komunitas yang didirikannya, Rumah Sunting, selain itu ia juga menulis buku puisi yang terbit pada 2011 lalu berjudul Sunting. Minggu lalu (20/3) salah satu Reporter AKLaMASI UIR berkesempatan untuk mewawancarai Kunni mengenai puisi, kegiatannya, dan komunitasnya.

Sejak kapan kakak menyukai puisi?
Saya menyukai puisi dari SD, awalnya hanya suka membaca puisi hingga mengikuti lomba baca puisi beberapa kali. Saya mulai menulis puisi sejak kuliah di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasyim Riau, selain itu saya juga bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Gagasan.

Siapa yang menginspirasi kakak untuk terjun ke dunia sastra?
Tidak ada yang menginspirasi saya. Saya belajar sendiri, menulis sendiri, bisa dikatakan otodidak. Ketika itu saya hanya membaca karya-karya Penyair Indonesia zaman dahulu seperti Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bahri, dan NH Dini.

Apa yang mendorong kakak untuk mendirikan sebuah komunitas sastra?

Zaman saya dulu sangat sulit untuk menyalurkan bakat puisi dan mengapresiasikannya. Karena belum ada komunitas-komunitas sastra yang mengajak teman-teman pecinta sastra untuk berkumpul dan saling berbagi.

Kalau sekarang kan sudah banyak komunitas-komunitas sastra yang ada di Riau. Jadi pada 11 April 2012, saya punya keinginan untuk medirikan sebuah komunitas sastra yang dinamakan Rumah Sunting untuk menampung orang-orang yang menyukai sastra.

Awalnya komunitas itu berfokus pada teater, karena saya dulunya orang teater dan sudah banyak menyutradarai beberapa kali pementasan teater. Namun semenjak 2014 sampai sekarang, dibagi menjadi beberapa divisi teater, sastra, dan tari.


Mengapa kakak memberikan nama komunitasnya “Rumah Sunting?

Sunting itu menurut orang melayu adalah mahkota, simbol perempuan. Sedang dalam Bahasa Indonesia artinya hiasan, meminang. Jadi Rumah Sunting ini tempat dimana orang-orang yang punya kemauan keras, yang ingin mempersunting sastra untuk menemani hidupnya. Sekarang anggotanya berjumlah 32 orang. Mulai dari kalangan anak sekolah, mahasiswa, guru, PNS, wiraswasta, dan lain-lain.

Biasanya kalau ngumpul hari apa aja kak?
Kami biasanya ngumpul malam jumat, jumat sore, dan minggu. Kalau minggu biasanya full. Jarang semuanya bisa kumpul dan berdiskusi bersama karena semuanya pasti punya kesibukan masing-masing. Kalau ada pementasan dan event sastra, kami usahakan tiap malam ngumpul dan latihan.

Terakhir, 5 sampai 6 Maret lalu, kami mengadakan Kenduri Puisi di Teluk Meranti Riau bersama komunitas-komunitas sastra yang ada di Riau. Kegiatan itu adalah kegiatan pembacaan puisi oleh Penyair yang ada di Riau sekaligus mengenalkan puisi kepada masyarakat desa.

Kalau masyarakat yang tinggal di kota sudah pasti mereka sudah mengenal puisi. Tapi bagaimana dengan masyarakat-masyarakat yang tinggal di desa? Pasti mereka belum tahu seluk beluk mengenai puisi.

Selain di rumah sunting, apa saja kegiatan kakak sekarang?
Sebetulnya dunia saya banyak ya, rumah sunting dan seni itu dunia lain. Dunia lainnya lagi yaitu Saya bekerja sebagai wartawan di Harian Riau Pos sejak 2001. Ketika menjadi wartawan, kita menulis begitu juga ketika menjadi sastrawan. Berbeda dengan teater, aku harus menerjemahkan dan menghidupkan teks di atas panggung. Tapi semuanya masih sejalan dan selaras kok.

Apa pesan dan kesan kakak kepada pemuda-pemudi di Riau?
Jika dibandingkan dengan zamanku dulu sangat beda sekali. Sekarang sastra di Riau sangat bergairah dan menggebu-gebu. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai komunitas sastra dan Penyair Muda Riau.

Semangatnya sungguh luar biasa dan selalu antusias ketika diajak berdiskusi, saling berbagi mengenai sastra, seni, atau apapun itu.

Manfaatkan itu, perbanyak kawan, komunitas, dan membaca karya-karya sastrawan dan penyair Indonesia yang terkenal. Tapi jangan menggantungkan diri juga dengan hal-hal seperti itu.

Karena kekuatan menulis itu lahirnya dari hati dan pikiran. Walaupun teman kita banyak tapi hati dan pikiran kita tidak sejalan, tidak akan ada karya yang kita tulis. Jadi dorongan itu tetap dari diri kita sendiri. Teman-teman itu hanya pemancing dan penyemangat kita.

Oleh : Reporter AKLaMASI UIR, Mulya Jamil
Editor : Rifal Fauzi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *