Berguru Menulis Berita

Hari kedua Diklat Jurnalistik Tingkat Dasar (DJTD) membahas penulisan berita lempang (21-23/4). Desi Somalia Gustina, seorang pengajar Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Riau cum alumnus majalah AKLaMASI berkesempatan mengampu materi ini.

Tidak ada definisi baku. Tidak ada aturan ketat yang dipaparkan. Karena masing-masing akademisi memiliki pandangan berbeda-beda tentang berita. Karena itu, selama memaparkan Desi banyak menganalogikan sesuatu.

Termasuk mengibaratkan berita lempang seperti bakwan, habis beberapa gigit.

“Di tangan saya ada majalah, lebih banyak berita lempang apa feature?” peserta menjawab feature. Majalah yang dimaksud tadi adalah AKLaMASI.

Desi mengumpamakan yang sudah sering didaur-ulang yaitu anjing menggigit manusia, itu peristiwa yang sudah lumrah terjadi. Sebaliknya manusia cokot anjing, agak unik. Itu contoh yang sering digunakan untuk menakar nilai berita.

Desi memanggil nama peserta lewat absensi kelas, bertanya apakah yang berada di ruangan ini bisa disebut wartawan?

“Belum bisa disebut wartawan, karena masih belajar,” kata Nisa. Desi menjawab kita sudah bisa menjadi wartawan, jika terikat dalam media dan memiliki identitas wartawan.

“Apakah warga yang menulis berita tidak bisa disebut wartawan,” lanjut Desi. “Ini boleh saja, hanya dia belum boleh menyebut diri wartawan.”

Berita itu harus fakta bukan khayalan dan fiksi.

Desi mencontohkan misal, wartawan Riau Pos menulis soal cuaca di Pekanbaru yang panas, hujan, panas-panas, hujan-hujan-hujan, intinya cuaca sedang tak menentu. Tapi si wartawan, menggambarkan itu dengan khayalan.

“Saya berdiri di tengah terik matahari keringat meleleh dan angin sepoi-sepoi membuat saya ingin tertidur, kepala saya terantuk ke sana ke mari akhirnya saya terbangun. Ini hanya mimpi.” Jadi agar samar-samar dan berita tidak boleh begitu.”

Pernahkah membaca liputan jurnalistik yang mengemukakan sisi kemanusiaan bukan hanya melaporkan berita? Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan adalah berita lebih menelisik sisi kemanusiaan.

Dan yang terus diperbincangkan hingga kini adalah pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir. Ia pembela HAM tapi, hak asasinya sendiri dilanggar oleh negara.

Apakah peristiwa besar saja yang bisa kita tulis sisi kemanusiannya, tentu saja tidak, jelas Desi. Biasanya sisi kemanusiaan masuk pada tulisan panjang berita lempang agak jarang.

Setelah memberikan pemahaman secara analogi dan cerita, Desi memberi apa yang dibutuhkan ketika menulis berita lempang.

Untuk memulai sebuah tulisan dibutuhkan lead. Apakah bisa kita hanya membaca lead dan ujungnya saja.

Menurut Desi bisa, tapi tidak terlalu mencukupi karena berita lempang juga tidak terlalu panjang.

Tak perlu lengkap tapi angle menarik.

Lugas.

Singkat padat dan jelas.

Gunakan alenia pendak dan kalimat pendek. Kalau kita gunakan bertele akan ditinggalkan pembaca.

Tidak bertele-tele mengulangi pembahasan sebelumnya.

Bahan tetap fakta tapi dibantu interpretasi. Maksudnya menulis berita adalah eksplorasi gagasan.

Setelah membeberkan materi tentang berita lempang, peserta harus membuat contoh berita lempang. Mereka harus menyelesaikan tugas dalam 15 menit.

Ada 18 peserta di ruangan berarti ada 18 berita lempang. Desi mengatakan tak akan membaca semua, ia hanya memilih satu untuk dibahas.

Nisa Hasanah menulis judul pilkada Jakarta sama dengan pemilu presiden.

Desi memberikan kritik pada tulisan Nisa Hasanah.

Berita ini sudah lewat peristiwanya, artinya sudah basi untuk dihadirkan sebagai berita lempang. Tidak ada narasumber atau komentar. Tidak ada kejelasan tentang tempat dan waktu.

Desi membacakan penutup Hasanah, “kita harus cukup cerdas untuk memilih.” Desi bertanya, cukup cerdas itu seperti apa? Harus dibutuhkan data misalnya dari lembaga survey jadi bisa memperkuat berita lempang, buka opini penulis.

 

Penulis : Wahid Irawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *