Si Malin Tanpa Pengawalan

Patung Malin Kundang yang tanpa pengawalan dan tidak dipagar

“Kalau patung itu hilang, bisa hilang juga nantik cerita rakyat tentang malin kundang tu,” kataku kepada Arif.

***

Kami baru saja pulang dari destinasi wisata alam pantai Air manis, terkenal karena sebuah cerita rakyat tentang seorang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu oleh ibu kandungnya.

Anak itu namanya Malin, dalam cerita ia digambarkan sebagai anak yang penurut waktu kecilnya, sampai malin memutuskan untuk pergi ke perantauan.

Di kampus Unand (Universitas Andalas), dalam kunjungan kami pada hati sabtu 17 februari 2018 ke sebuah Lembaga Pers Mahasiswa, Genta. Aku sempat berbincang dengan Hamid, mahasiswa asal pariaman yang kuliah di UNP (Universitas Negeri Padang). “Dikampung saya saja sangat jarang ditemukan anak muda, semuanya merantau”. Ujar Hamid.

Dari penjelasan Hamid, budaya merantau di tanah Sumatra Barat sudah sejak lama menjadi kebiasaan turun temurun.

“Entah merantau karena untuk bekerja, untuk kuliah, atau pun menganggur. Pokok nya merantau,” ini kata Hendrik. Ia salah satu pengurus di Genta, Kampus Unand (Universitas Andalas), juga asal dari tanah Sumatera Barat.

Setelah Malin pulang dari perantauan, dikisahkan Malin sudah beristri saudagar yang kaya raya.

Ibunya sudah lama menunggu ditepi pantai untuk kepulangan anaknya. Tetapi saat sudah dilihatnya Malin, Malin berpaling wajah dan ia tidak mengakui ibu kandungnya sendiri.

Keangkuhan dan lupa diri seorang Malin sangat digambarkan dalam cerita rakyat ini. Sampai ibunya berdoa dan meneteskan air mata kekecewaan.

Ombak besar menghantam kapal yang Malin tumpangi, petir menggelegar. Awak kapal Malin terjun ke laut. Sehingga Malin menangis menyesali perbuatan nya.

Kutukan kekecewaan seorang ibu berbuah ke Malin serta kapalnya yang berubah menjadi batu.

Kini batu malin kundang yang sedang bersujud serta puing-puing kapalnya masih terdampar di Pantai yang diberi nama Pantai Air Manis.

Perjalanan wisata kami di Sumatra Barat menuju Pantai Air manis utamanya untuk melihat bekas puing kapal dan patung bersujud malin kundang.

Sampai disana, seorang gadis kecil  duduk di atas punggung patung itu, ayah sang anak mengabadikan momen dengan memotretnya.

Seorang penjual es krim memberhentikan gerobaknya menunggu pembeli disamping batu bersejarah itu, warung-warung permanen berdiri kokoh disekeliling patung Malin.

Tidak ada penjagaan ketat seperti pagar, pengawas, ataupun pemerhati yang mengamankan sebuah bukti cerita rakyat itu.

Dihamparan pantai yang luasnya bisa melelahkan kaki jika berjalan, atau kalau tidak mau lelah bisa menyewa sebuah motor pantai yang dibanderol dengan harga 150 ribu/jam.

Ada pulau hijau yang terpisah sendiri, tidak jauh dari pesisir pantai utama, pengunjung masih bisa kesana tanpa menggunakan perahu. Karena air tidak terlalu dalam untuk menuju kawasan tersebut.

Peminat pengunjung pantai air manis malah lebih banyak menuju kepulau itu daripada melihat patung malin kundang yang utamanya menjadi simbol pantai air manis.

Reporter : Rega alsusar
Editor : Tomy Ginting

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *