70 Tahun Kematian Tan Malaka

Hari ini, 70 tahun yang lalu, Tan Malaka ditembak mati pasukan TNI dibawah pimpinan Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.


Tan Malaka atau Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka adalah tokoh Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah anggota Partai Komunis Indonesia, juga pendiri Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) dan sekaligus pembela tanah air serta merupakan salah satu seorang pembela kemerdekaan.

Lahir di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897 (masih diperdebatkan), ia adalah putra dari HM. Rasad dan Rangkayo Sinah. Pada tahun 1908, ia bersekolah di Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock (sekarang Bukit Tinggi). Karena kepiawaiannya berbahasa Belanda, ia melanjutkan sekolah ke Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah) di Belanda, dengan bantuan dana para engku dari kampungnya

Dalam buku Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis (Syaifudin, 2012), Selama di Belanda, pemikirannya berkembang setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya. Kemudian pasca Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme. Sejak itu, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Bahkan Friedrich Nietzsche ia jadikan sebagai panutannya.

Saat itulah ia mulai membenci budaya kolonial Belanda dan terkesan oleh budaya masyarakat Jerman dan Amerika. Lalu ia terobsesi menjadi salah satu pasukan angkatan perang Jerman. Kemudian mendaftar ke militer Jerman, namun ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.

Beberapa bulan kemudian, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia). Ia tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial Guru). Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.

Sebulan kemudian, ia kembali ke Indonesia dan mengajar bahasa Melayu kepada buruh pekerja di Sanembah, Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Selain mengajar, Ia juga menulis untuk Deli Spoor (media propaganda subversif). Tulisan-tulisannya kental akan amatan-amatan mengenai penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera.

Ia juga terkadang menulis untuk berbagai media massa. Salah satu karya awalnya adalah “Tanah Orang Miskin”, yang bercerita tentang ketimpangan sosial antara kaum kapitalis dan proletar, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan para buruh tani kebun teh di Sumatera Post.

Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menjadi salah satu pelopor sayap kiri di Indonesia. Ia juga terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 dengan membentuk Persatuan Perjuangan dan disebut-sebut sebagai otak dari penculikan Sutan Syahrir yang pada waktu itu merupakan perdana menteri Indonesia. Karena itu ia dijebloskan ke dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Pasca meletus pemberontakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara.

Tan Malaka merasa kecewa terhadap sikap politik diplomasi yang diambil oleh Sutan Syahrir, karena mau saja percaya kepada pemerintah kolonial Belanda dengan Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948. Setelah pemberontakan FDR di Madiun ditumpas pada akhir November 1948, Kemudian Tan Malaka menuju Kediri dan mengumpulkan sisa-sisa pemberontak FDR, dan membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi.

Februari 1949, Tan Malaka ditangkap bersama beberapa orang pengikutnya di Kediri, Jawa Timur. Mereka ditembak mati di sana. Tidak ada satupun pihak yang tahu pasti dimana jasad dan makam Tan Malaka dan siapa yang menangkap dan menembak mati dirinya dan pengikutnya. Tapi, akhirnya misteri tersebut terungkap dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa yang menangkap dan menembak mati Tan Malaka pada tanggal 21 Februari 1949 adalah pasukan TNI dibawah pimpinan Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.

14 tahun kemudian, Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 53, 28 Maret 1963.

Mengingat jasa-jasa almarhum sebagai Pemimpin Indonesia dimasa silam, yang semasa hidupnya, karena terdorong oleh rasa cinta Tanah Air dan Bangsa, memimpin suatu kegiatan yang teratur guna menentang penjajahan di bumi Indonesia.

Pada 21 Februari 2017, makam Tan Malaka secara simbolis dipindahkan oleh Tan Malaka Institute dari Kediri ke Sumatra Barat. Karena tubuh Tan Malaka tak pernah ditemukan, mereka memutuskan untuk memulangkannya secara simbolis, yakni dengan membawa segenggam tanah dari pekuburan Tan Malaka yang ada di Kediri ke kabupaten Lima Puluh Kota.


Sumber:

Syaifudin (2012). Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Mrázek, Rudolf (October 1972). “Tan Malaka: A Political Personality’s Structure of Experience”. Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University’s Southeast Asia Program.

Poeze, Harry A. (2007). Verguisd en vergeten: Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945–1949. Leiden: KITLV.

Poeze, Harry A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. 1. translated by Hersri Setiawan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


Penulis: Ardian Pratama

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *