Posko Kekerasan Seksual BEM UIR dan Anomali Penanganannya


Penulis: Rahmat Amin Siregar


Pada 21-28 Januari lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Riau (UIR) membuka “Posko Pengaduan Etika dan Tindak Kekerasan Seksual” yang dilaksanakan satu minggu lamanya.

Posko pengaduan ini letaknya di bundaran UIR. Hingga Kamis (27/01) Menteri Pemberdayaan Perempuan (PP) BEM UIR, Hanna Lorentika Sitepu, mengatakan telah menerima kurang dari 20 laporan terkait dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa dan juga dosen.

Walaupun posko tersebut berada di tempat terbuka, Hanna mengungkapkan bahwa pelaporan tindak kekerasan seksual banyak melalui pesan Whatsapp. “Sekitaran dua puluh orang,” ujarnya.

 “Sejauh ini korban banyak curhat. Baru nanti kami—Menteri PP—kumpul lagi beserta presiden (Ketua BEM UIR). Kami rangkul dan tanya-tanya lagi,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Hanna tak ingin menyebut cakupan tindakan kekerasan seksual yang dilaporkan. Sayangnya, Hanna mengaku belum membaca Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Padahal pada pasal 5 menyebutkan secara mendetail cakupan tindakan yang termasuk kedalam kekerasan seksual.

Hanna menjelaskan, berdirinya posko ini menjadi program untuk menampung pengaduan korban-korban kekerasan seksual di lingkungan kampus dan melaporkannya kepada pihak Rektorat UIR. Laporan tersebut menjadi bentuk tindak lanjut dari posko pengaduan.

Carut-Marut Skema Pengaduan Korban Kekerasan Seksual

Sebelum memberi laporan tersebut kepada pihak rektorat, rencananya BEM UIR akan melakukan wawancara terhadap terduga pelaku kekerasan seksual. Hanna pun menuturkan akan melaporkan terlebih dahulu hasil temuan tersebut kepada Bagian Hukum dan Etika (BHE) di UIR.

Teknis pengaduan kasus kekerasan seksual yang dibuat oleh BEM UIR kontradiktif dengan Permendikbud-Ristek 30 tahun 2021. Sebab, pada pasal 10huruf (a)terdapat keharusan untuk dilakukan pendampingan. Pendampingan tersebut berupa; konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, atau bimbingan sosial dan rohani.

Keterbatasan biaya, ungkap Hanna, yang menyebabkan BEM UIR tidak melakukan pendampingan, khususnya konseling.

Skema yang muncul adalah rektorat akan melakukan bimbingan, seperti konseling, melalui Fakultas Psikologi. “Itu dia nanti, apa yang mau ditanya dari rektorat kami kasih,” tutur Hanna.

Dengan alur yang muncul kemudian ini, BEM UIR harus memberikan identitas korban kepada pihak rektorat dalam melakukan konseling. Sementara itu, untuk pemulihan korban diatur dalam Permendikbud-Ristek 30 tahun 2021 pada pasal 20 ayat 3. Pemulihan tersebut dilakukan berdasarkan persetujuan korban.

Selain itu, perlindungan terhadap korban juga perlu digaungkan. Pada pasal 12 disebutkan bentuk-bentuk perlindungan yang harus diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, tenaga pendidik, dan warga kampus.

Adapun bentuk jaminan perlindungan korban kekerasan seksual seperti, pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan kekerasan seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum hingga, perlindungan terhadap identitas korban.

Melihat skema yang dilakukan BEM UIR dalam menyikapi kasus kekerasan seksual di kampus, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Rian Sibarani mengatakan, seharusnya BEM UIR tidak serta-merta memberikan daftar pengaduan kekerasan seksual kepada rektorat.

Hal ini dilihat dari kemungkinan resiko yang akan dihadapi korban. Menurut Rian kondisi kesehatan mental korban harus diletakkan pada urutan pertama. “Korban harus dikuatkan dulu,” kata Rian.

BEM UIR juga harus memahami keinginan para korban yang melapor. Rian mengungkapkan, sebagian dari korban kekerasan seksual hanya ingin bercerita dan tak mau melanjutkan perkara, ada yang ingin pelaku minta maaf, dan ada pula yang menuntut ke meja hijau. Oleh karena itu, pelaporan ke pihak rektorat yang menyebut identitas korban, haruslah melalui persetujuan korban itu sendiri.

Berbicara tentang keamanan korban kekerasan seksual, Rian mengatakan bila BEM UIR sendiri tak mampu menjamin data ketika diserahkan ke rektorat, maka sebaiknya jangan di serahkan. 

Rian melanjutkan, seharusnya jauh sebelum membentuk posko, BEM UIR harus mendesak kampus untuk menerapkan Permendikbud-Ristek 30 Tahun 2020—membentuk Satgas (Satuan Tugas). Dari Satgas inilah muncul tahap-tahap ketika pengaduan kekerasan seksual diterima.

Menurutnya pembentukan posko pengaduan kekerasan seksual bisa dilakukan siapa saja, namun perlu dipertimbangkan sampai mana pembuat posko mampu untuk mengadvokasi kasus kekerasan seksual.

Hak serta kewajiban pembentukan posko juga menjadi hak korban kekerasan seksual. Tujuannya dibentuk posko tersebut yaitu, mengedepankan hak-hak korban, bukan melemahkan korban kekerasan seksual. Menurut Rian, BEM UIR sebagai penerima laporan harusnya mengetahui apa saja yang dibutuhkan korban kekerasan seksual.

Lebih lanjut, skema yang dilakukan BEM UIR dalam membuat posko pengaduan tidak sekadar dijadikan tempat pengumpulan data dan tindak lanjutnya tidak jelas. “Hal ini sama saja tidak menjawab keresahan mahasiswa,” ujarnya.

Tidak ada Kerja Sama BEM UIR dan BHE

Terkait kerjasama BEM UIR dengan BHE, Kepala BHE UIR, Wira Atma Hajri, S.H, M.H, saat ditemui dikantornya pada Jumat (18/02) mengatakan, sebelumnya tidak ada bentuk kerja sama antara BHE dan BEM UIR ketika membuat posko pengaduan kekerasan seksual. “Tidak ada diberitahukan,” ujar dosen Fakultas Hukum UIR—hingga berita ini diterbitkan, Wira mengatakan belum menerima laporan dari pihak BEM UIR terkait korban kekerasan seksual.

Namun Wira menegaskan, apabila terdapat dugaan pelanggaran etik dan juga kasus kekerasan seksual di kampus dapat melaporkannya kepada pihak rektorat

“Silahkan lapor ke rektor, kita terbuka. Kemudian akan disposisi ke BHE sendiri untuk diproses selanjutnya,” tutur Wira yang juga mengatakan UIR telah memiliki tim guna penanganan kasus etik.

Namum, tim yang dimaksud Wira tidak seperti kriteria Permendikbud-Ristek 30 tahun 2021. Dimana perguruan tinggi harus membentuk Satgas yang anggotanya terdiri dari unsur pendidik, tenaga pendidik, dan mahasiswa.

Lebih lagi, terdapat kewajiban untuk melibatkan perempuan sebanyak dua per tiga dari jumlah anggotanya. Dimana dari jumlah anggota perempuan ini, 50 persennya harus berasal dari unsur mahasiswa.

Ilustrasi: Akhmat Kusairi

Editor: Gerin Rio Pranata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *