Relasi Kuasa hingga Retardasi Mental dalam Lingkaran Kekerasan Seksual


Penulis: Arif Widyantiko


Beberapa waktu yang lalu media sosial sempat dihebohkan dengan maraknya aksi kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan. Seorang mahasiswi Fisip (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) Universitas Riau (UR) speak up terkait kekerasan seksual yang dialaminya. Peristiwa ini terjadi ketika korban ingin bertemu dengan Dekan yang sekaligus dosen pembimbing skripsinya.

Kasus tersebut bukanlah satu-satunya yang terjadi di dunia pendidikan. Pasalnya, kasus ini sudah menjadi fenomena gunung es. Angka kasusnya bisa jauh lebih tinggi akan tetapi tidak semua penyintas atau korban berani untuk melapor.

Apabila ditelisik lebih dalam, berdasarkan data catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2021, data-data yang terkumpul dari Lembaga layanan atau formulir pendataan Komnas Perempuan sebanyak 8.234 kasus , jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan relasi personal dengan persentase 79% (6.480 kasus).

Diantaranya terdapat kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Sedangkan di posisi ketiga yaitu kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kekerasan terhadap perempuan berikutnya terjadi di ranah komunitas atau publik dengan persentase 21% (1.731 kasus). Adapun kasus yang paling menonjol ialah kekerasan seksual dengan jumlah 962 kasus. Kekerasan seksual tersebut meliputi, pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, persetubuhan, dan percobaan perkosaan.

Sementara itu hasil survei terakhir yang dihimpun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun 2020 menyebutkan 77% dosen mengakui bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di Kampusnya.  Akan tetapi, 63% dari mereka tidak melaporkan kepada pimpinan Universitas. Hasil riset itu dilakukan di 79 Perguruan Tinggi yang berada di 29 Kota.

Menanggapi hal tersebut, Fakhri Usmita S.Sos,. M.Krim, Dosen Kriminologi Universitas Islam Riau (UIR) mengungkapkan, kekerasan seksual maupun pelecehan seksual umumnya rentan terjadi  karena relasi kuasa yang tidak setara antara kedua belah pihak.

Lebih lanjut, dalam perspektif kriminologi juga dikenal dengan istilah Interaksionis Simbolik. Istilah ini merujuk pada fenomena ketika ketimpangan dalam suatu relasi, maka pihak yang berada di atas cenderung bersifat menekan yang dibawahnya.

“Idealnya, suatu relasi atau hubungan harus seimbang layaknya timbangan. Namun, ketika terjalin hubungan yang tidak setara maka salah satu pihak cenderung akan mengancam atau berbuat sesukanyaa kepada pihak lain yang lebih rendah. Seperti relasi mahasiswa dengan dosen, mandor dengan buruh,Pekerja tetap dan outscorsing, bahkan suami dengan istri,” ungkap Fakhri.

Menurut Fakhri, relasi kuasa tidak menjadi faktor tunggal dalam kasus kekerasan seksual. Sebab ada faktor-faktor lain yang juga turut mendukung terjadinya kekerasan seksual, seperti faktor permisifitas lingkungan sekitar dalam memberikan semacam pemakluman terhadap hal-hal yang tabu. Sehingga hal ini menjadi faktor penyubur kondisi pelecehan ataupun kekerasan seksual terus terjadi.

“Adanya kecenderungan pola pikir masyarakat  yang  mempersepsikan sesuatu hal yang serius itu ketika menimbulkan suatu luka dan ada korban yang dirugikan. Sementara pelecehan secara verbal seperti cat calling, apakah itu rayuan, bujukan dan kedipan mata, ada anggapan, apa yang dirugikan dari hal itu, sehingga ada semacam pembenaran di masyarakat. terang Fakhri,” ujarnya.

Sementara itu Dekan Fakultas Psikologi UIR, Yanwar Arief, M.Psi. Psikolog mengatakan, faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual dapat dipengaruhi dari sisi korban maupun sisi pelaku itu sendiri.

“Kita tidak bisa membuat konsep atau formula bahwa kekerasan seksual hanya dari satu faktor saja. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kekerasan seksual, antaranya faktor psikologis, sosial budaya dan teknologi,” imbuh Yanwar.

Dalam perspektif korban dapat disebabkan oleh kepribadian korban yang mudah diajak serta memiliki daya asertif yang rendah, seperti pribadi yang polos, mudah percaya dan sulit menolak sesuatu ajakan yang sebenarnya bagian dari motif atau modus tertentu.

Kemudian dalam beberapa hal kekerasan seksual disebabkan dari segi kecerdasan korban yang rendah, orang-orang yang mengalami retardasi mental (keterbelakangan mental) sehingga mudah ditipu dan dirayu. Selain itu keluarga korban yang kurang harmonis broken home juga menjadi faktor korban mencari kompensasi guna penyembuhan melalui figur-figur yang dapat melindunginya.

Sementara itu dari sudut pelaku amat dipengaruhi oleh gangguan kepribadian, seperti hypersex atau memiliki dorongan seksual yang tinggi, kontrol diri yang lemah dan kebiasaan menonton video porno.

Menyoal terkait mengapa korban cenderung tidak melapor, Yanwar menjelaskan kekerasan seksual merupakan hal yang sifatnya pribadi dipandang sebagai aib dan menyangkut harga diri seseorang, sehingga butuh waktu bagi korban untuk berani berbicara.

Sehingga upaya pertama yang harus dilakukan ialah pentingnya diciptakan sebuah wadah yang aman dan terpercaya agar korban lebih terbuka dan berani berbicara. Korban tentunya akan merasa nyaman ketika berbicara dengan teman terdekatnya terlebih dahulu dibanding orang lain. Wadah yang aman dan terpercaya  salah satunya bisa menggunakan platform sosial media secara online, sehingga rahasia dan identitas korban dapat terlindungi.

“Melalui wadah tersebut harapannya pertama ialah pemulihan terhadap dirinya, korban tidak terus dibayangi oleh ingatan masa lalunyaa yang dapat menggangu aktifitasnya, bagaimana dia bisa menumbuhkan percaya dirinya, menghilangkan rasa malu ketika menjalin kedekatan dengan lawan jenis, serta tentunya berdamai dengan masa lalunya,” papar Yanwar.


Editor: Gerin Rio Pranata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *