Ruang Aman Berdigital dengan Memahami Privasi dan Literasinya
Penulis: Ludiana Mubarikah Surayya
Universitas Islam Riau (UIR) melakukan peningkatan kualitas pembelajaran mahasiswa melalui program visiting lecturer. Pada Kamis (10/3), Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) menggelar kuliah umum hybrid dengan menghadirkan Prof. Dr. Stefan Koos dari Universitat Der Bundeswehr München.
Dekan Fikom UIR, Dr. Muhd Ar. Imam Riauan, M.I.Kom membuka kuliah umum ini dengan menyampaikan harapannya agar dapat meningkatkan kualitas dan memperluas literasi digital mahasiswa.
“Diharapkan pula mahasiswa dan dosen-dosen dapat mengambil peran dalam aktivitas tingkat internasional,” ujar Imam.
Dalam pemaparan pertama, Stefan Koos mengangkat tajuk “The Individual and The Property in Virtual and Augmented Realities”. Ia menjelaskan bahwa di era sekarang, masyarakat Indonesia masih belum familiar dengan aktivitas digital. Hal ini berdampak pada ketidak jelasan kesepakatan bahasa hukum di dunia virtual dengan dunia nyata.
Stefan Koos mengambil contoh maraknya kasus pelanggaran privasi semasa tren permainan Pokemon Go. Dimana orang-orang terlalu asik bermain, tanpa sadar memasuki halaman rumah orang lain, yang mana hal itu termasuk dalam pelanggaran privasi. Sayangnya, justru masih dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia.
“Jika society berubah maka akan ada permasalahan baru yang juga harus diatasi. Kita sebagai orang yang bergerak di media harus membuat atau memastikan segalanya aman dalam berdigital,” ujar Stefan Koos.
Urgensi ketiadaan posisi produk, pengguna, provider secara hukum dalam Metaverse juga menjadi point penting materi perkuliahan umum hybrid ini. Pasalnya, lajunya perkembangan ruang angkasa virtual turut diikuti dengan meningkatnya kriminalitas.
Dalam konsep Metaverse yang dibangun oleh Mark Zuckerberg, menggambarkan, lingkungan virtual yang dapat dimasuki melalui Augmented Reality dan Virtual Reality. Stefan Koos memandang ini sebagai hal penting yang tidak boleh diabaikan. Dalam mengakses Metaverse pengguna diharuskan mengisi data pribadi dan memasang avatar sebagai ekspresi personal, namun hal ini tidak selamanya aman.
“Poinnya adalah kepercayaan” jelas Stefan Koos.
Pengguna dengan mudah menghubungi orang asing, ngobrol tentang banyak hal yang tak jarang bersifat privat bahkan melakukan janji temu secara langsung. Untuk masyarakat yang masih minim pengetahuan akan digitalisasi, ini adalah bahaya besar khususnya bagi anak-anak yang dibiarkan bebas mengakses internet oleh orang tuanya.
Ia menambahkan, solusi dari semua permasalahan ini bervariasi–menurut masing-masing negara. Beberapa negara seperti Jerman, Korea dan Cina menerapkan sistem hukum dunia digital dengan menggunakan provider milik negaranya sendiri.
Sementara Indonesia belum melakukan itu, dan bukan hal yang mudah pula untuk merubahnya. Butuh waktu yang lama untuk membuat masyarakat beradaptasi dengan sistem yang baru.
“Dengan karakteristik masyarakat Indonesia, solusinya adalah integritas. Pemerintah harus mengambil tindakan tegas atas posisi sistem hukum dunia virtual, … dimana kita harus mengubah masyarakat, kita harus melindungi diri kita, lindungi anak-anak kita!” tegas Stefan Koos.
Editor: Rahmat Amin Siregar