Makna Edukatif dalam Film Jumbo: Mendengar, Memahami, serta Bertumbuh Bersama
Penulis : Fajar Ilham Saputra
“Setiap cerita itu punya banyak peran. Tapi, cerita nggak akan jadi cerita kalau nggak ada yang dengerin.”
— Oma (nenek Don)
Kutipan dari Oma ini bukan hanya pengantar cerita, tapi menjadi inti dari pesan yang ingin disampaikan film Jumbo. Sebuah pesan yang dalam dan menyentuh: bahwa setiap anak punya cerita, dan dunia akan jauh lebih baik jika kita mau meluangkan waktu untuk mendengarkannya. Inilah nilai utama yang menjadikan Jumbo sangat relevan dengan pembelajaran dalam ranah pendidikan formal, informal, maupun nonformal.
Film Jumbo, animasi karya yang disutradarai Ryan Adriandhy tahun 2025 ini, menyuguhkan sebuah cerita hangat, penuh petualangan, dan sarat makna. Tak hanya memikat lewat visual dan alur yang menyenangkan, Jumbo juga berhasil menyentuh sisi emosional penontonnya lewat karakter-karakter yang terasa begitu nyata.
Tokoh Don, anak yang menyayangi buku dongeng peninggalan orang tuanya, mewakili anak-anak yang sedang belajar memahami hidup lewat cerita dan imajinasi. Ketika bukunya dicuri oleh Atta, anak yang dikenal nakal dan suka merundung, Don tidak hanya kehilangan benda penting, tapi juga kehilangan bagian dari kenangannya. Namun, alih-alih membalas dengan kemarahan, perjalanan yang ia lalui justru membentuk pemahaman dan empati yang dalam—terutama terhadap Atta.
Atta, yang awalnya tampak sebagai karakter antagonis, justru menyimpan sisi kemanusiaan yang kuat. Ia hidup hanya bersama sang kakak, memikul tanggung jawab yang besar, dan menekan emosi dalam keterbatasan. Sikap kerasnya kepada Don bukan tanpa alasan, dan film ini dengan lembut menunjukkan bagaimana anak-anak seperti Atta sebenarnya hanya butuh didengar, dilihat, dan dipahami. Dalam konteks pendidikan, ini menjadi pengingat bahwa anak dengan perilaku sulit sering kali menyimpan kebutuhan yang tak terucap.
Ucapan janji Don kepada Meri:
“Aku janji, aku bakal bantu kamu. Karena aku tahu gimana rasanya kehilangan orang tua.”
Kalimat ini mencerminkan puncak dari perkembangan emosional Don—seorang anak yang tak hanya mampu merasakan kesedihan sendiri, tapi juga bersedia menolong orang lain yang mengalami hal serupa. Inilah bentuk dari empati, kepedulian, dan tanggung jawab sosial—nilai-nilai kunci dalam pendidikan karakter.
Keterkaitan dengan Pendidikan:
Dalam pendidikan formal, film ini dapat digunakan sebagai sumber refleksi dalam pelajaran seperti Bahasa Indonesia (analisis karakter dan pesan moral), Pendidikan Pancasila (nilai kemanusiaan dan gotong royong), atau Bimbingan Konseling (penguatan empati dan kesadaran sosial). Guru dapat membahas bagaimana konflik antara Don dan Atta bisa menjadi bahan diskusi tentang penyelesaian konflik dan pentingnya memahami latar belakang seseorang.
Dalam pendidikan informal, terutama di keluarga, Jumbo adalah pengingat bahwa anak-anak tumbuh bukan hanya dari apa yang mereka pelajari di sekolah, tapi juga dari cerita, perhatian, dan dialog hangat bersama peran orang dewasa dalam lingkungannya. Sosok Oma memperlihatkan bagaimana orang tua atau kakek-nenek dapat menjadi pendengar yang baik dan penenang di masa-masa sulit.
Dalam pendidikan nonformal, seperti kelompok komunitas atau kegiatan ekstrakurikuler, kisah Jumbo bisa menjadi bahan kegiatan menulis cerita, bermain peran, atau diskusi kelompok tentang nilai persahabatan, keberanian, dan bagaimana kita bersikap terhadap teman yang berbeda latar belakang.
Film Jumbo mengajak kita memahami bahwa dunia anak adalah dunia yang penuh makna jika kita mau mendengarkannya. Sosok Don mengajarkan keberanian dan ketulusan, Atta menunjukkan bahwa semua anak berhak dipahami, dan Meri menjadi simbol bahwa bahkan dalam kehilangan pun kita bisa menemukan persahabatan. Dan semuanya berawal dari satu hal sederhana: mendengarkan.
Karena, seperti kata Oma: “Cerita nggak akan jadi cerita kalau nggak ada yang dengerin.”
Editor : Annisa Rahma Aulia