Asykar Theking, Tuntut Peserta Kongres Asal Makassar Minta Maaf

Suasana saat Asykar Theking saling lempar dengan peserta kongres HMI di Gor Tribuana, Jalan Jenderal Sudirman, Senin 23 November 2015. (Foto: Yosa Sastrama Putra).
Suasana saat Asykar Theking saling lempar dengan peserta kongres HMI di Gor Tribuana, Jalan Jenderal Sudirman, Senin 23 November 2015. (Foto: Yosa Sastrama Putra).

Senin (23/11), tepatnya pukul 12 lewat 56 menit WIB. Gelanggang Olahraga (Gor) Tribuana Pekanbaru, siang itu tampak dipadati peserta Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-29.

Saat itu pula, beberapa dari mereka tengah menikmati nasi bungkus di atas trotoar Jalan Sudirman—tepat di depan pagar Gor. Mereka ditemani para petugas kebersihan yang sedang membersihkan parit di sebelah trotoar.
Tak jauh dari trotoar, di depan halte GOR, dua petugas kepolisian sedang bagikan nasi bungkus ke peserta yang belum dapat. “oiiii.. kau udah dapat?,” teriak salah satu petugas pada rekan ku di AKLaMASI—Ardian Pratama, ketika itu turut ku ajak. Ardian pun menolak, dengan berkata dia bukan peserta kongres. Jempol petugas langsung menyambutnya sembari mengatakan, siip.

Urusan pembagian nasi, ditangani tiga orang panitia tanpa badge name (Bedgename). Di bantu para petugas kepolisian dalam mendistribusikannya. Mereka adalah mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR). Asrul, salah satu diantaranya. Laki-laki berjerawat semi dengan perawakan ramah itu mengatakan, tidak berani kenakan Badname panitia—sebab takut diteror. “semalam ada panitia dari Universitas Islam Negeri (UIN) Suska yang dipanah bang,” ungkap Asrul.

Kami—saya dan Ardian—datang ke Gor ingin menemui ketua panitia, guna menggali informasi seputar pelaksanaan kongres. Namun, tampaknya sulit. Tidak ada tanda pengenal satu pun yang dikenakan oleh panitia. Asrul juga mengatakan, bahwa ia juga belum dapat kabar dari ketuanya.

“Air sudah habis, kau tanggung sendiri lah air minumnya,” kata salah satu petugas kepolisian ke peserta kongres ketika mengambil nasi. Usai bagikan, Asrul dan dua rekannya pun langsung pergi tinggalkan lokasi dengan Avanza biru. “hati-hati sewaktu meliput bang.” Nasihatnya pada kami.

Kami pun bergerak masuk mendekati Gor. Di teras depan, banyak peserta kongres tengah tiduran bertelanjang dada, berambut gondrong, berwajah lusuh, dan kumal—belum mandi. Di bagian kiri dan kanan pagar GOR, banyak peserta jemur pakaian.
Suasana masih sepi, “Acara belum dimulai dan masih tahap registrasi bang,” kata salah satu peserta kongres. Namun, kami tidak melihat kegiatan registrasi yang dilakukan oleh panitia. Hanya terlihat penjaja souvenir menjajakan dagangannya di bawah tangga depan GOR yang dikerumuni oleh banyak peserta.

Di tangga, tepatnya di depan pintu masuk Gor, kami mewawancarai dua peserta asal Purwokerto. Salah satunya bernama Saoqi. Saat itu, ia yang tak kenakan baju tengah menghisap rokok dengan rekannya. Ia mengatakan, baru datang kemarin lewat jalur udara—pesawat. “Ongkos transportasi kami dibiayai bang,” tambanya.

Total peserta kongres asal Purwokerto berjumlah sembilan orang. Saoqi dan rekannya di utus ke Pekanbaru untuk melihat situasi kongres. “Kami tidak tahu mengenai pemblokiran jalan serta aksi anarkis se-malam, bagusnya abang masuk aja ke dalam. Tanya-tanya peserta yang lain,” ujar Saoqi sambil menghisap rokoknya.

Atas sarannya, kami pun coba mencari peserta lain di dalam Gor untuk menggali informasi. Saat masuk ke dalam Gor, banyak peserta tidur beralaskan tikar dan berbantalkan tas. Memang, sepertinya panitia belum tampak ingin memulai acara, sebab kursi-kursi masih berserakan. Di bangku atas stadion pun turut dipenuhi beberapa peserta kongres yang tiduran, lagi-lagi tak berbaju. Kami pun putuskan keluar.
“hati-hati meliput di sini Fal, enaknya kita cari yang sedang duduk santai, biar enak wawancaranya kayak abang tadi (Saoqi),” kata Ardian yang tampak ketakutan untuk menemaniku wawancarai peserta. Banyak peserta melihat dengan tatapan curiga, hal itu membuat keberanian kami ciut untuk mewawancarainya.

Insting membawa kami menuju sisi kiri Gor. Di sana terdapat peserta kongres dari Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka terlihat ramah, ketika kami lemparkan senyuman. Namun, sikap takut Ardian halangi niat untuk wawancarai mereka. “Nanti aja pal, kita cari yang enak diajak ngobrol, itu mereka lagi ramai-ramai,” bisik Ardian. Tidak hanya Ardian, Aku pun sebenarnya tak berani untuk mewawancarai peserta kongres.

Tak jauh dari posisi kami, tampak seorang peserta menulis di dinding-dinding Gor dengan stabilo merah. Ada yang menulis Riau Tak Siap. Kemana Uang 7M?, dan Pecahkan saja kacanya biar ramai.

Usai melihat suasana dan kondisi di sekitar perkarangan Gor, kami beranjak menuju halaman Gor. Di sana, terlihat banyak pecahan kaca dari gedung depan GOR, “Memang tak ada otak peserta ni, kaca gedung negara dipecahin,” Ardian menyumpah serapah.
“Dung Dung,woi woi.. Keluar kalian,”. Terdengar suara tabuhan alat marching band—Bass—yang disahut dengan teriakkan masa dari luar pagar. “Fal bentrok nanti ni, yok pergi,” Ardian mengajakku keluar.“Bentar yan, seru kayaknya ni,” jawabku. Ia pun meninggalkanku sendirian di lapangan Gor. Aku sempat mengambil beberapa foto, lalu keluar lima menit setelahnya.

Saat keluar dari pagar, seorang polisi menyetopku, “Mau kemana kamu?,” tanyanya. “Saya dari Pers Mahasiswa UIR Pak,” jawabku sambil tunjukkan kartu pers. Ardian lalu mengajak ku menuju pagar depan Gor tempat para demonstran berorasi.
“Woii, a****g kalian,” kata salah satu demonstran. Para demonstran adalah Supporter PSPS Pekanbaru— Asykar theking yang dikoordinatori oleh Jery. Mereka datang ke Gor untuk berorasi atas sikap peserta kongres, terutama asal Makassar.
Peserta yang tiduran di dalam serta halaman pun bangun, banyak yang masuk ke dalam Gor. Atas arahan polisi, mereka disuruh diam di pintu masuk Gor dan di larang maju ke pagar.

Asykar theking orasikan agar kongres ini dibatalkan. Juga, menuntut agar mahasiswa asal Makassar yang merusak halte dan Gor, serta membuat kerusuhan di Gobah—salah satu wilayah di Pekanbaru, harus bertanggung jawab.
“Kami warga Riau, tidak akan biarkan mahasiswa Makassar berangkat dari Pekanbaru sebelum mereka bersujud minta maaf,” kata Jery melalui TOA yang dipegangnya.

Pihak kepolisian langsung menutup pagar dan mengamankan lokasi di dalam Gor. Beberapa dari peserta kongres yang di dalam ruangan, mulai keluar menuju pintu masuk—menyaksikan para demonstran dari kejauhan.
“Buat apa bakar ban-buat apa bakar ban,” yel-yel Asykar theking dengan irama lagu gelang sepatu gelang, karya Cosa Aranda . Setelah yel-yel dinyanyikan, orasi dilanjutkan dengan sumpah serapah para peserta demonstran, yang suaranya lebih keras dari TOA.
Beberapa demonstran yang mayoritas bersuku Minang menyumpah serapah dengan bahasa daerahnya.
“Woii apak kapalo ayah ang anjiang.”
“Hehh, mana ngerti orang tu Bahasa Minang.”

“Bunuh bunuh bunuh Makassar,
bunuh Makassar dengan senapan,
Buang buang mayatnya,
buang mayatnya disungai siak.” Lagi-lagi yel-yel baru kembali dinyanyikan salah satu demonstran dengan TOA di tangannya.

Jery mengatakan tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa Makassar semalam merupakan tindakan anarkis tidak mencerminkan seorang mahasiswa. “masak mahasiswa UIN di panah? itukan tidak mencerminkan mahasiswa melainkan tukang rusuh. Di Gobah, ketika petugas kepolisian lakukan sweeping, mereka menemukan senjata tajam, panah dari bamboo, dua botol yang diduga racun untuk panah, dan senjata rakitan. Abang bisa bukak di GoRiau.com untuk jelasnya.” terangnya.

Di akhir wawancara, sebelum balik ke rombongannya untuk kembali memimpin orasi, Jery sarankan kami agar berhati-hati ketika meliput.(Rifal Fauzi)

Editor: Dede Mutiara Yaste

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *