Simalakama Pers Mahasiswa

Aula Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) diramaikan peserta Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) sejak pukul 08:00 WIB. Tiga dari empat pemateri sudah duduk di meja bundar tepat di depan panggung. Gun Gun Siswadi sebagai Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa RI. Di sebelahnya duduk Yosep Adi Prasetyo—Ketua Dewan Pers Indonesia, dan Arfi Bambani Amri sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Para penari dengan gemulai mulai melenggang ke atas panggung dan membawakan tarian khas dari Lampung, Sigeh Pengunten. Berakhirnya tarian, dua pembawa acara menyerukan salam “Tabik pun…” lantas hadirin menjawab dengan serempak “Yaa pun.”  Setelah pembacaan doa bersama, seluruh hadirin di aula berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Peresmian acara Diskusi Publik Sabtu  (28/10) yang mengangkat tema ‘Media Dalam Bayangan Hoax’ resmi dibuka dengan memainkan alat musik gamelan oleh Rektor Unila— Prof. Hasriadi Mat Akin, perwakilan Gubernur Lampung, serta Perwakilan Walikota Lampung.

Di akhir sambutannya Hasriadi sempat memberi saran untuk proses pemberitaan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Bagaimana seharusnya Pers Mahasiswa (Persma) mengangkat berita yang informatif seputar kampusnya sendiri. “Masa orang luar sudah tau prestasi di kampus kita tapi Persmanya sendiri belum tau,” tuturnya. Ia lalu menganalogikan kehidupan setelah kiamat. Jika diibaratkan ada Neraka dan Surga. Di Neraka sudah terbit tiga majalah, tapi di Surga baru terbit satu majalah. Itu bererti jumlah jurnalis yang ada di surga kurang banyak.

Dalam sesi diskusi publik, diawali penyampaian materi oleh Arfi, dilanjutkan Gun Gun, kemudian Yosep Adi P.  Dalam materinya, Yosep menjelaskan bahwa yang namanya Informasi itu berbeda makna dengan berita. Informasi adalah hal-hal yang bisa disebar oleh siapapun lewat media sosial, tanpa ada pertanggungjawaban pihak redaksi. Sedangkan berita adalah produk jurnalistik, punya pertanggungjawaban jurnalis dan redaksi.  Maka dari itu di setiap berita, maupun cetak atau online selalu sertakan alamat redaksi. Ia juga memaparkan soal jurnalisme kuning. “Jurnalisme yang punya judul bombastis, isi yang tidak koheren , asal comot dan tidak menaati kode etik jurnalistik,” ungkapnya.

Yosep, atau yang akrabnya ‘Stanley’ juga menjawab pertanyaan, apakah Dewan Pers melindungi Pers Mahasiswa ?

Ia katakana bahwa Persma bukan termasuk produk jurnalisme, seperti yang terdapat dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Persma sebenarnya bukan wilayah atau ranah Dewan Pers, karena Persma dikawang oleh dekan dan rektor. “Tapi Dewan Pers siap jadi tempat mengadu jikalau ada persoalan, Dewan Pers akan coba bantu sebagai mediasi kepada pihak kampus,” ujarnya.

Mengingat peristiwa pemberedelan majalah Lentera, Fiskom UKSW Salatiga. Mengangkat isu “Salatiga Kota Merah” dalam rangka peringati 50 tahun kasus pembantaian ’65. Sebanyak 500 eksemplar cetakan majalah Lentera ditahan oleh pihak kepolisisan dan pihak kampus.

Pada akhir diskusi, Amri Haruna—Delegasi PJTLN darI LPM Catatan Kaki Universitas Hasanuddin, Makassar bertanya soal media yang terkadang dijadikan alat propaganda dan doktrin masyarakat. “Akhir September lalu, sempat gencar-gencarnya penayangan Film G30S dari pemerintah, apakah itu suatu bentuk doktrin atau sebagainya?”

Gun Gun kemudian menjawab, bahwasanya semua orang punya kebebasan berekspresi untuk menyampaikan informasi termasuk penayangan kembali Film G30S ke masyarakat. Menurutnya hal itu bukanlah suatu bentuk doktrin atau sebagainya.

 

Oleh : Laras Olivia

Editor : Arniati Kurniasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *