Kisah Korban Tak Bersalah di Peristiwa 65

Oleh: Arif Widyantiko


Cerita hidup Rosidi ditulis oleh Tosca Santoso, yang sudah lebih dari 25 tahun menekuni dunia jurnalistik.  Novel ini merupakan hasil dari wawancara dan riset langsung yang dilakukan oleh penulis. Cerita Rosidi menceritakan kisah seorang petani di Desa Sarongge Ubruk, pernah ditahan tahun 1965 ketika menjadi buru di  kebun teh Goalpara, Sukabumi, Jawa Barat.

Berawal ketika Rosidi datang mengunjungi rumah paman Salna yang akrab disapa Mang Ocon, seorang mandor perkebunan teh di Cikawung, tempat pertama ia bekerja sebelum pindah ke kebun teh Goalpara. Mang Ocon dulu sering membantunya ketika masih bekerja di perkebunan Cikawang.

Belum lama duduk di ruang tamu, terlihat sebuah mobil tentara berhenti tepat di depan rumah Mang Ocon. Dua tentara langsung mendekati Rosidi sambil menanyakan kartu identitas Rosidi, tanpa ragu ia mengeluarkan Kartu Serikat Buruh Republik Indonesia (Sabupri), yang biasanya sebulan sekali ia pakai sebagai kartu pengambilan beras dan ikan asin, di pabrik teh tempatnya bekerja.

Setelah melihat kartu tersebut, tentara marah dan menarik paksa Rosidi untuk masuk ke dalam mobil. Tanpa kejelasan akan di proses seperti apa, Rosidi dan para tawanan lain hanya bisa pasrah. Malam semakin larut, Rosadi dan tawanan lain di bawa menggunakan truk besar menuju Cianjur, untuk dipindahkan ke Penjara Bancey atau resminya sekarang lembaga pemasyarakatan Bancey.

Rosidi baru mengetahui alasannya ditangkap ketika ia ditanya seputar pembunuhan para jendral di Jakarta. ternyata Kartu Sarbupri itu, ada keterkaitannya dengan organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Rosidi mengaku tidak tahu tentang kaitan organisasi Sarbupri dengan PKI.

 “Seorang yang layak dihormati sebagai pemimpin adalah Soekarno, bukan Aidit” ujarnya pada tentara saat di interogasi.

 Pada buku ini juga dijelaskan bagaimana pandangan Soeharto mengenai PKI saat itu, di mana Soeharto menyebarluaskan ke publik mengenai kejadian 30 September 1965 ketika 6 jendral, dan satu perwira dibunuh oleh Pasukan Untung. Soeharto beranggapan terjadinya pembunuhan itu merupakan kudeta yang disponsori PKI, dengan tujuan menggulingkan pemerintah yang sah, dan mengganti pancasila dengan komunisme.

Versi ini pernah dibuat dalam bentuk film, dan wajib tayang di televisi tiap 30 September, dimasa Soeharto berkuasa. Dijelaskan pada buku ini, bagaimana sikap Soeharto dalam memandang PKI sebagai ancaman Pancasila, terlihat ketika ia berkali-kali menyakinkan presiden Soekarno, bahwa solusi krisis politik pada waktu itu adalah dengan pembubaran partai PKI.

Keinginan Soeharto ditentang Soekarno yang memiliki keinginannya menyatukan front nasionalis agama dan komunis, dengan membentuk Nasional, Agama dan Komunis (Nasakom). Ide yang dipikirkanya sejak muda tercapai ketika presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).

Dalam buku ini, Tosca menjelaskan bagaimana tujuan dibentukan Supersemar yaitu untuk menertibkan keamanan. Soekarno memerintahkan Soeharto mengurus hal itu. Akan tetapi, Soeharto menyalahgunakan Supersemar untuk membubarkan PKI.

Penumpasan PKI sampai keakar-akarnya yang dilakukan Soeharto sudah berlangsung intensif, sejak Oktober 1965 hingga Februari 1966, dalam tempo 5 bulan, pembunuhan meluas. Terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Perkiraan korban bervariasi antara 100 ribu sampai 1 jutaan jiwa.

Rosidi lebih beruntung dibanding anggota Sarbupri di Jawa Tengah, atau di Sumatera Utara yang di bunuh tanpa diproses pengadilan. Tetapi di sinilah perjalanan Rosidi bermula, menjadi Tapol (Tahanan Politik) dan dipenjara selama 13 tahun membuat Rosidi memiliki banyak pengalaman di tiap tempat tahanannya.

Rosidi hanya 6 hari ditahan di Bancey, setelah tidak ada pemeriksaan lagi, akhirnya ia dipindahkan ke tahanan darurat. Sebuah tahanan yang didirikan dadakan, terletak diantara kebun dan pabrik pengolahan karet. Tahanan itu di Cianjur dikenal sebagai Kamp Panembong.

Pada buku di jelaskan bagaimana Oneh, istri ke-lima Rosidi selalu setia berada di sisinya. Ketika setahun di Kamp Panembong, Oneh menjenguk Rosidi dan ikut tinggal di Kamp Panembong, dengan alasan tak bisa jauh dari suaminya, selain itu oneh juga membantu dan selalu memberikan kekuatan pada tahanan-tahanan lain.

Tosca menceritakan sosok Oneh sangat baik, dalam buku, Oneh merupakan karakter yang kuat dalam perjalanan hidup Rosidi selama berada di dalam penjara. Kisah Oneh membesarkan ke lima anaknya tanpa adanya Rosidi juga cukup menggungah hati, Oneh menjadi sosok wanita yang tegar dan sabar menanti kebebasan suaminya.

Para tahanan tidak sekedar di penjara tetapi ia juga dipekerjakan paksa diberbagai proyek seperti mengambil pasir sungai, memecah batu, menebang pohon dan membuat jalan. Hal tersebut menjadi perhatian dunia, International people’s Tribunal (IPT) dan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengkategorikan hal tersebut sebagai perbudakan, oleh sebab itu Pemerintah Indonesia divonis bersalah karena telah melakukan perbudakan terhadap Tapol 1965 sampai 1978.

Rosidi adalah salah satu dari ratusan ribu, atau bahkan jutaan korban kezaliman yang melandasi munculnya kekuasaan Soeharto. Bertahun-tahun Rosidi menjadi Tapol, ia mendapat kabar akan dibebaskan pada juli 1978, ketika Soeharto mendapat tekanan dari PBB, Amerika dan Inggris, untuk mempercepat menyelesaikan Tapol dari peristiwa 1965.

Gaya bahasa yang digunakan Tosca sangat menarik, tidak betele-tele dan mudah dipahami. Tak banyak novel yang mengangakat peristiwa nyata Pemerintahan Indonesia dimasa lampau. Tosca menggunakan alur mundur, hal ini dapat dilihat ketika Rosidi kembali mengingat tempat-tempat yang ia kunjungi semasa dulu ditahan dan mengerjakan berbagai proyek.

Isi novel ini juga meluruskan sejarah bangsa Indonesia terhadap PKI, bahwa tidak semua korban PKI bersalah, banyak korban salah tangkap yang dibantai hanya akibat ketidaktahuannya mengenai organisasi yang terikat dengan PKI. Selain itu, di buku ini juga menyebutkan beberapa dalang dalam peristiwa G30S.

Akibat penangkapan yang sembarangan Rosidi dikucilkan warga setempat, bahkan untuk menikahkan anaknya saja harus dengan sesama mantan tahanan, sebab pertengahan tahun 80an stigma PKI masih kuat melekat digencarkan pemerintah kepada masyarakat.

Hal yang membingungkan dalam buku ini adalah silsilah keluarga Rosidi yang memiliki 5 orang istri, 10 orang anak, 28 orang cucu, 17 orang cicit, dan seorang Bao –julukan untuk generasi kelima setelah cicit. Pembaca akan dibuat bingung dengan banyaknya karakter yang disebutkan disetiap Rosidi berpindah tempat.

Untuk yang suka membaca, buku setebal 260 halaman ini sangat disarankan bagi penggemar cerita sejarah. Apalagi bagi yang ingin mengetahui tragedi mengenai pembantaian 1965, serta polemik politik di masa itu.


Editor: Arniati Kurniasih


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *