Makrab Tak Sepenuhnya Mengakrabkan


Penulis: Rahmat Amin Siregar


Kamis sore, langit cukup cerah untuk mengumpulkan seluruh peserta yang ikut dalam acara pelepasan rombongan kegiatan Work Social Criminology atau lebih dikenal dengan Malam Keakraban (Makrab). Acara tahunan yang berlangsung selama tiga hari ini, dilakukan untuk menyambut mahasiswa baru Jurusan Kriminologi, Universitas Islam Riau (UIR). Setelah penerbangan balon sebagai tanda pelepasan, rombongan satu persatu mulai masuk ke dalam bus dengan teratur.

Semua orang saling sapa, tertawa dan bercanda, hanya kebahagian yang terlihat dari wajah mereka. Di luar Hiruh Pikuk keadaan sore itu, Zikrul salah satu temanku mempermasalahkan kondisi bus kami yang kurang nyaman. Suara mesin yang bising, kondisi badan bus yang terlihat lapuk serta jarak antar bangku bus yang sempit.

”Sudah tak layak pakai ni” celetuknya.

Namun keresahan itu tidak berlangsung lama, persoalan bus tergantikan oleh gelak tawa hasil dari berbagai lelucon yang dilontarkan peserta, disaat supir bus ugal-ugalan di jalan untuk mengejar ketertinggalan bus lain, bahkan supir sempat dua kali menerobos lampu merah.

Tahun ini Geopark Lembah Harau di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat (Sumbar) terpilih sebagai tempat Makrab. Ketika tiba, semua gelap tak ada satupun penerangan disekitarnya, hingga berjalan menuju tenda pun sedikit kesusahan, hanya bermodalkan flash pada gawai masing-masing.

Pagi harinya aku terbangun karena suasana yang sejuk, aku keluar tenda. Ku lihat sekeliling yang tidak sempat aku nikmati ketika sampai malam itu. Suara air terjun yang terletak tidak jauh dari tempat ku berkegiatan menjadi musik yang indah untuk mengawali pagiku kala itu, tebing-tebing yang tinggi menjulang, hijaunya pepohonan, udara yang dingin serta air sungai yang segar membuatku tak sabar untuk merasakannya.

Selain itu, sirine dari pengeras suara yang dibunyikan oleh koordinator lapangan membuat peserta yang lain juga ikut berhampuran keluar tenda. Tidak ketinggalan Zikrul, dengan muka tampak masih mengantuk ia bergegas keluar tenda.

“Ternyata bunyi Sirine, aku pikir lagi mimpi ambulan” ujarnya.

Selama tiga hari banyak waktu luang yang bisa digunakan peserta untuk bersantai, hal ini membuktikan bahwa agenda tidak tersusun baik oleh panitia, apalagi pentas seni yang dijanjikan oleh panitia tidak sepenuhnya berjalan lancar.

peserta Makrab dibagi menjadi beberapa tim untuk bermain game

Dari berbagai rangkaian acara, puncak dari Makrab ini adalah bagian hiking, sebab agenda inilah membuat peserta lebih mengenal satu dengan yang lain, melatih kekompakan serta kebersamaan disetiap rute yang di lewati, seperti jalan terjal dan berbagai rintangan yang disiapkan panitia, akan sangat menyenangkan. Namun disayangkan aku tidak dapat merasakannya, sebab kejadian itu.

Satu hari sebelum keberangkatan Makrab. Awan gelap, gemuruh guntur, serta kilatan petir menjadi teman dalam derasnya hujan sore itu. Sambil memainkan gawai yang ada digenggaman, aku menuruni satu demi satu anak tangga gedung sekertariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

“Bbuukkk”.

Bunyi itu berasal dari diriku sendiri yang jatuh terduduk di lantai, sebab basah oleh genangan air hujan, akibat terlalu fokus dengan layar gawai. Kaki ku terkilir tidak bisa digerakkan, tak lama seorang laki-laki berbadan tegap, berkulit sawo matang datang menghampiriku. Aku tidak tahu namanya, namun ia langsung berjongkok, meraih kakiku, dan menggerakkan persendian kaki yang terkilir karena kecerobohan ku sendiri.

Akibatnya, aku tidak diizinkan oleh panitia untuk ikut serta dalam menjalankan rintangan-rintangan pada agenda Makrab kali ini. Setelah hiking selesai, aku dan peserta lain duduk berkumpul sambil menikmati air terjun. Temanku Fuad mengatakan bahwa Makrab kali ini kurang menyenangkan, tujuan untuk saling mengakrabkan seperti tema acara, namun kenyataannya tidak menggambarkan hal itu. Acara ini hanya digunakan untuk ajang pamer kekuasaan yang dilakukan pihak senior.

“Bisa dikatakan menyesal mengikuti acara ini, bukan mendapat kesenangan di acara maupun hiking, aku hanya dapat sikap yang kurang mengenakkan, dan sepanjang rute hanya mendengarkan omelan senior saja” ungkapnya.

Aku menanggapinya dengan tawa ringan, dan memukul pundaknya pelan,

“walaupun begitu aku iri padamu, pulang dengan baju penuh lumpur, sedangkan aku tidak bisa merasakannya, hanya dapat melihat kalian saja”.


Editor: Arniati Kurniasih

Foto: Himpunan Mahasiswa Kriminologi (HIMAKRI)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *