Aku Muak Pada Gerakan Anti Pengetahuan

Oleh: Gerin Rio Pranata


“Jangan mau menjadi mahasiswa kere atau yang lebih jelasnya mahasiswa kiri,” ungkap dosen pengampu mata kuliah Al-Islam-ku.

***

Secara tegas ia mengajak kami untuk tidak mempelajari ideologi yang beraliran kiri. Toh, kenapa memangnya kalau mempelajari ideologi tersebut? Atau ia ingin membatasi pemikiran kami? Entahlah, aku pun tidak mengerti. Namun, hal inilah yang selalu menjadi alasanku untuk mencaritahu dan mempelajari setiap ilmu pengetahuan baru.

Aku setuju dengan perkataan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia, “Seorang terpelajar haruslah berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” artinya setiap manusia harus objektif dalam berfikir, terutama mahasiswa yang hidup dan berbaur di lingkungan akademis.

Aku merasa resah dengan orang yang ada di lingkungan sekitarku, yang terlalu sensitif ketika mendengar kata “komunis”. Baik itu dari orang tua, guru SMA, bahkan dosenku sendiri. Memang Indonesia masih memiliki luka lama dengan peristiwa G30S 1965, jutaan orang mati meninggalkan bumi pertiwi. Tapi, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sedang mereka bicarakan—tidak memberiku barang sedikit pun penjabaran yang mumpuni.

Guru sejarah SMA-ku selalu menjelaskan peristiwa G30S dengan menyudutkan PKI. Namun, penjelasan tersebut berkontradiktif dengan guru sosiologiku yang lebih objektif, “Apa yang dijelaskan ibu itu (guru sejarah) hanya berdasarkan buku pelajaran sekolah saja,” sanggahnya, “Karena kasus G30S belum jelas siapa dalangnya, karena banyak literatur yang menjelaskan ada kaitannya dengan CIA, Soeharto, bahkan PKI itu sendiri.”

Di rumahku sendiri, pernah saat aku memutar lagu Jason Ranti yang berjudul Bahaya Komunis, sontak ibuku tanpa tedeng aling-aling menghentikanku, dengan alasan isi dari lagu tersebut sangat sensitif. Apalagi masyarakat Indonesia terlalu sinis dengan kata “komunis”.

John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, membagi 4 bagian dalam peristiwa G30S. Pertama, sejak tanggal 1 Oktober 1965 sampai sekarang, pihak militer Indonesia memandang G30S sebagai usaha kudeta PKI. Kedua, ilmuwan dari Cornell University,Benedict Anderson dan Ruth McVey, menganalisis G30S sebagai pemberontakan internal angkatan darat yang dilakukan para perwira bawahan. Ketiga, ilmuwan politik Harold Crouch menganggap G30S sebagai ungkapan ketidakpuasan para perwira bawahan terhadap atasannya yang didukung dan dibantu oleh PKI. Keempat, Sosiolog Belanda, W. F. Wertheim, menjelaskan G30S sebagai gerakan yang diorganisasi oleh Soeharto dan perwira anti-komunis melalui agen ganda, Syam Kamaruzaman, sebagai dalih untuk menghancurkan PKI dan mengkudeta Presiden Soekarno.

Ketakutan semacam ini bermula pada zaman Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto. Pasca kejadian G30S, pemerintah Orde Baru menetapkan peraturan bahwa PKI dan organisasi masyarakat yang terkait dengannya dilarang dan dibubarkan. Bahkan penyebaran pemahaman yang berideologi kiri seperti marxisme, lenimisme, dan pastinya komunisme juga dilarang. Dengan dilarangnya ideologi tersebut berimbas kepada penyebaran literatur yang berbau ‘kekiri-kirian’ ikut dilarang, salah satunya buku.

Menurutku, tidak ada salahnya mempelajari ideologi apapun di dunia ini termasuk komunisme. Karena ketika mempelajari ideologi tersebut, baik melalui buku ataupun sumber-sumber lainnya belum tentu kita secara spontanitas mengikuti apa yang diwacanakan dalam sumber tersebut. Mempelajari bermacam-macam ideologi akan membuat pembaca menemukan kebijaksanaan dan pandangan-pandangan baru terhadap suatu ilmu pengetahuan. Karena, berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh manusia sangat mungkin ditemukan solusi dan jawabannya melalui ilmu pengetahuan.

Sekarang, membincangkan tragedi G30S terkesan tabu, jangankan untuk membicarakan sejarahnya, membaca bukunya saja dirazia. Juli lalu, razia buku kiri terjadi di daerah Probolinggo dan Makassar. Bahkan, buku karya Prof. Dr. Franz Magnis Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme juga di razia. Padahal buku tersebut mengkritik habis-habisan pemikiran Karl Marx. Hanya karena cover buku tersebut bergambar Karl Marx, lalu dirampas dari toko-toko buku. Ironinya, kebanyakan oknum yang merazia buku kiri ini tidak membaca buku tersebut, tetapi hanya melihat judul dan cover bukunya saja.

Mohamad Nasir, Menristekdikti  (Menteri Riset, Teknologi, Dan Perguruan Tinggi), bahkan membebaskan masyarakat akademik untuk mengkaji ideologi apapun di kampus. Namun, dengan catatan harus mengomparasi ideologi tersebut dengan ilmu pengetahuan lainnya. Misalnya, ketika membicarakan ideologi Pancasila sebagai ideologi di Indonesia, boleh mengomparasi dengan Negara lain yang memiliki ideologi yang berbeda.

Jika begitu, mengapa kita harus takut dengan ideologi komunisme? Toh, China yang begitu komunisnya dulu, kini menjadi negara kapitalis yang begitu akut. Gerakan komunis Indonesia juga sudah mati berpuluh-puluh tahun yang lalu. Uni Soviet apalagi, sudah mati terpecah-belah.

Tidak hanya soal komunisme saja yang mengalami penyimpangan makna dalam keseharian kita dalam bertutur, anarkisme juga.

Menanggapi soal anarkisme, teman-teman di sekitarku menganggap bahwa ideologi tersebut erat kaitan dengan kekerasan. Namun, menurut KBBI Anarkisme adalah ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara; teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang. Tidak harus dengan jalan kekerasan.

Pierre-Joseph Proudhon, tokoh pertama yang mengakui dirinya seorang Anarcho—berpaham anarkisme, ingin merubah stigma yang melekat padanya, bahwa anarkisme kerap dikaitkan dengan kekerasan. Hal ini yang mendasari Proudhon membuat serikat buruh.

Proudhon dan rekan-rekannya pada 1864 membentuk First International Workingmen’s Association, sebuah serikat buruh berskala internasional pertama di dunia. Menurutnya, penting bagi pekerja untuk mengendalikan alat produksi yang berhubungan erat dengan nilai kebebasan. Dalam hal ini menunjukkan bahwa tidak semua yang berpaham anarkisme erat hubungannya dengan kekerasan, itu semua kembali kepada individu seseorang.

Aku sendiri masih mempelajari berbagai pengetahuan, dengan membaca buku tentunya. Aktivitas tersebut membuka pemahamanku semakin luas soal apa saja—sistem politik, ekonomi, budaya, dan hal lainnya. Kalau hanya takut akan terpapar dengan ideologi yang kita pelajari, menurutku itu bukan jawaban yang relevan. Aku masih cukup waras untuk mengetahui bahwa Indonesia menganut ideologi Pancasila, dan masih akan begitu untuk selamanya.

Ayo membaca! Apa saja dan dimana saja!


Editor: Ardian Pratama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *