Dinamika Komunitas Film di Riau


Penulis: Ludiana Mubarikah Surayya


Ada banyak festival yang mengapresiasi dunia perfilman. Dari lokalan sampai ke berbagai belahan dunia. Di Venesia di awal September ini, terlaksana festival film tertua di Eropa. Festival Film Venesia 2022, namanya.

Di kota dengan julukan Queen of the Adriatic itu film karya Makbul Mubarak terpilih dalam sesi Horizon. Adalah film yang menceritakan Autobiography tentang kekerasan yang tak tampak.

Menyoal film, di berbagai daerah di Indonesia, banyak ditemukan anak-anak muda yang membentuk komunitas. Pergolakan komunitas film, dinilai semakin kuat. Lebih lagi, semakin banyak ruang alternatif untuk memutar film dan berdiskusi secara terbuka.

Di Riau sendiri, Said Rahmat Hidayat—produser dan Co-founder KomunitaS Film Pekanbaru (Komfek)—menyebutkan fenomena yang sering terjadi pada komunitas film, bak mati suri atau berhenti berproduksi.

Hal ini disampaikan Said pada sesi diskusi saat digelar Sinema Suara Mahasiswa oleh Media Mahasiswa AKLaMASI Universitas Islam Riau (UIR). Bukan tanpa alasan, Said mengatakan, musababnya tak terlepas dari hubungan antar kru selama produksi di lapangan.

“Film produksi komunitas ini kan bersifat non-komersial, maka perlu kerjasama yang solid. Kita harus memahami membuat film itu, bukan dari ego masing-masing,” ungkapnya di Gedung Kesenian Riau, Sabtu (3/9).

Di pagelaran Sinema Suara Mahasiswa diputar tiga film pendek dari dua komunitas film di Pekanbaru. Emotional Delusions and Tragedies That The Drive Me Crazy dari Bla Studio, For Yuri dan Dokumen Konotasi dari CNO Production. AKLaMASI juga menjadi salah satu pihak yang ikut memproduksi Dokumen Konotasi.

Galang Andjaya, sutradara For Yuri seia dengan Said. Galangan bertutur For Yuri diproduksi juga melandas pada kesadaran diri untuk berkarya. Baginya, langkah dalam memproduksi film diperlukan kolaborasi.

“Semangat itu datang dari keinginan kuat diri sendiri untuk berkarya. Kalau udah gitu, kolaborasi lagi kuncinya. Gak cuma antar anggota saja, tapi juga antar komunitas lainnya,” ujar Galang.

Adrian Aery Lovian, Founder G-Movement—sebuah komunitas dan forum belajar perfilm yang berasal dari Pekanbaru—juga menyoroti kondisi komunitas film hari ini. Ia menghadirkan sudut pandang yang berbeda. Katanya, gerakan komunitas film dan kultur sosial di Pekanbaru cenderung mengikuti tren, tanpa memikirkan substansi.

“Apa yang sedang hype, dilakukan tanpa memikirkan bisa substansi apa ke depannya. Yang penting bikin dulu tanpa strategi dan visi yang jelas. Kalau kayak gitu, ya gak heran dinamika komunitas film di Pekanbaru hilang, muncul, tenggelam. Kebanyakan masih di level yes we can make a movie,” ini tak memberikan dampak, kata Adrian.

Dengan begitu, lulusan perfilman Institut Kesenian Jakarta itu berharap komunitas film dapat memberikan efek domino, yakni berdampak baik ke segala lapisan masyarakat.

“Film itu harus turun ke rakyat. Tidak hanya sekedar wujud ekspresi semata saja,” Adrian juga menggandeng berbagai bidang komunitas di G-Movement untuk meningkatkan aktivitas film di Riau.


Foto: Dian Rahma Sari

Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *