Jurnalis di Era Disrupsi


Penulis: Johan Hariwitonang


Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) menyelenggarakan seminar jurnalistik berkonsep talkshow, melalui aplikasi zoom meeting. Mengundang dua pembicara yaitu, Yovinus Guntur Pemimpin Redaksi Super Radio, Reno Surya Penulis Kontributor VICE Indonesia dan sebagai moderator, Michael Seno Rahardanto Dosen Pendamping Organisasi Mahasiswa (Ormawa) LPM UKWMS. Sabtu, (31/10).

Sebagai pembuka diskusi, Michael menuturkan pertama kali istilah disrupsi dicetuskan oleh seorang profesor dari Harvard Business School Clayton M. Christensen, dalam bukunya yang berjudul, Te Innovator Dilemma.  Fenomena disrupsi terjadi ketika suatu inovasi baru masuk ke pasar dan menciptakan efek disrupsi yang cukup kuat, sehingga membuat perubahan struktur pasar sebelumnya.

Yovinus atau yang akrab disapa Yovi, mengatakan perbedaan disrupsi dulu dan sekarang adalah akses terhadap media yang lebih mudah.

“Saya ingat waktu dulu tidak semudah saat ini, misalnya ingin mengirimkan naskah feature ke redaksi tetapi belum ada email dan akses elektronik lainnya, pita film yang tiba-tiba terbakar menjadi resiko besar sebelum sekarang”.

Selain itu dengan adanya media sosial, setiap orang bisa memproduksi beritanya sendiri, namun tidak setiap orang adalah jurnalis. Sebab jurnalis mempunyai kode etik yang harus diperhatikan, dalam proses peliputan dan produksi berita.

Dalam menanggapi isu-isu atau berita yang sensitif, Yovi mengaku bahwa dirinya tidak menghindari isu tersebut.

“Kami menampilkan pendapat bukan dari satu sisi saja, tetapi dari dua sisi. Cerita dari si pelaku sebagai tersangka, dan korban sebagai yang dirugikan, misalnya disabilitas, penderita HIV/AIDS, dibalik itu ada isu layanan kesehatan yang sampai saat ini belum terselesaikan”.

Menurut Reno, menjadi jurnalis berarti menjadi lonceng peringatan, terhadap isu-isu yang kurang mendapatkan tempat atau perhatian oleh media arus utama.

“Jangan membuat tabu isu-isu yang sensitif, seperti halnya Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT), sadar tidak sadar hal itu sudah ada  di tengah masyarakat, jika kita tutup telinga terhadap isu tersebut jadinya mereka tidak mempunyai kesempatan untuk bicara dan mengungkapkan pendapat”.

Untuk mengetahui kebenaran sebuah berita, Yovi membagikan tipsnya agar tidak salah menerima berita, di tengah banjir informasi seperti saat ini. Ketika melihat sebuah berita, lihat kembali websitenya cek fakta yang sudah tersedia, berita hoaks biasanya mempunyai nama domain yang tidak biasa didengar dan gambar yang digunakan tidak jarang berbeda.

Mengikuti perkembangan disrupsi saat ini, lembaga pers dituntut untuk melakukan perubahan, yang harus dikembangkan dapat dimulai dengan hal paling simpel, seperti cara menulis feature dan eksplorasi gaya penulisan, berani untuk membahas isu-isu yang sensitif seperti human right.

“Memang harus dimulai dari hal yang simpel dahulu seperti menulis feature, seetelahnya baru bisa belajar bagaimana menulis indepth, dan investigasi. Yang paling penting bagaimana mau mengupgrade diri untuk kemajuan LPM” ujar Reno.

Selain itu di era disrupsi pembaca bisa langsung melontarkan kritik kepada penulis, tidak jarang penulis menerima ucapan-ucapan yang agresif sampai bersifat mengancam. Resiko terhadap diri jurnalis saat turun ke lapangan juga krusial, karena mereka mengambil data dan bertemu dengan narasumber di lingkungan yang berbeda-beda sehingga diperlukan payung hukum untuk melindungi. Yovi katakan, mereka akan memberikan hak jawab terlebih dahulu jika itu terjadi.

“Saya pernah mengalami saat meliput LGBT, saya dianggap gay, meliput tentang syiah saya dianggap pro syiah. Tapi yang paling membekas diingatan, saat saya meliput berita pembunuhan di pesantren daerah Jawa Timur, yang pro terhadap pelaku melakukan ancaman lewat via telepon dan email kepada saya. Namun saya yakin kalau sebaik apapun berita yang kita buat pasti ada saja yang tidak suka dan seburuk apapun berita yang dibuat pasti ada juga yang suka, sebagai jurnalis tidak perlu menulis yang mereka inginkan,”tutur Yovi.

Yovi juga jelaskan bagaimana kriteria berita bermutu dan layak di publish untuk dikonsumsi khalayak, yaitu berita jelas tidak boleh bersifat mengadu domba dan sudah melewati tahapan proses dari meja redaksi, peliputan, sensor sampai ke editing, tidak mengandung unsur kebencian atau Suku, Agama, Ras (SARA). Dalam pembuatan berita harus menggali informasi dengan serius, mencari fakta dan verifikasi secara berulang.

Untuk para jurnalis, Yovi berpesan agar lebih hati-hati dalam mengunggah apapun pada media sosial pribadi. Jika ingin beropini harus berdasarkan fakta yang ada, karena tidak jarang ada peristiwa penangkapan jurnalis ketika ia menulis di media sosial pribadinya.

“Ketika menulis sesuatu di media sosial sendiri harus diingat bahwa ada identitas atau baju yang melekat pada diri kita, intinya harus bijak menempatkan diri.”

Berbeda dengan Yovi. Reno lebih fleksibel dalam bermedia sosial, ia katakan jika di instagram dan facebook lebih hati-hati dalam menulis, sementara di twitter tidak demikian. Soal kode etik ia sebut kesadaran dan sikap terus terang dari jurnalis paling utama, karena hal tersebut merupakan kemungkinan terbesar yang terjadi padanya di lapangan.

 “Harus dicegah itu ialah, yang membahayakan narasumber dan mengenai fakta tulisan yang terkadang dilebihkan dan dikurangi, jika itu terjadi si jurnalis harus berterus terang karena itu paling sulit”.


Editor: Arniati Kurniasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *