Panjang Sejarah Dinamika Si Resimen Mahasiswa


Penulis: Arif Widiyantiko


Resimen Mahasiswa atau yang disingkat dengan Menwa, merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Sebuah organisasi yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bela negara. Belakangan, Menwa menjadi buah bibir publik akibat insiden meninggalnya seorang mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret saat tengah melaksanakan Pendidikan dan Latihan Dasar.

Menilik lahirnya Menwa, akhir tahun 1950-an pemerintah Indonesia tengah diguncang  oleh berbagai macam konflik. Terjadi pergolakan politik dalam negeri yang berupa pertentangan ideologi antar partai politik. Serta munculnya beberapa aksi pemberontakan di daerah.

Berbagai macam masalah yang muncul itu sampai kepada Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957  tentang Pernyataan Negara dalam Keadaan Bahaya. Kemudian disusul dengan terbitnya UU No. 79 tahun 1957 tentang Keadaan Perang atas Seluruh Wilayah Republik Indonesia, tanggal 25 desember 1957.

Langkah ini kemudian ditindaklanjuti oleh Jendral A.H. Nasution selaku Penguasa Perang Pusat untuk mengubah ketentuan umum yang berlaku berdasarkan UU dan garis besar yang digariskan Soekarno dan Perdana Menteri.  Nasution kemudian membuat program pemberdayaan rakyat terlatih dalam rangka usaha pertahanan negara dengan memberlakukan Wajib Latih (Wala).

Adapun Peperpu Wala dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat, Jenderal A.H. Nasution menyatakan hal sebagai pemenuhan Pasal 6 UU No. 29 tahun 1954 tentang Pertahanan Negara.

Sedangkan untuk dasar hukum yang digunakan dalam konsideran Peperpu Wajib Latih ialah Keputusan Presiden (Keppres) No. 225 Tahun 1957, tanggal 17 Desember 1949. Keppres tersebut berkaitan dengan UU No. 79 tahun 1957 tanggal 25 Desember 1957 tentang Pernyataan Keadaan Perang atas seluruh Wilayah Republik Indonesia dan UU No. 74 tentang Keadaan Bahaya.

Tujuan umum Peperpu Wala untuk mempersiapkan perlawanan rakyat aktif serta cadangan umum yang terlatih bagi pertahanan khusus nya Angkatan Darat.

Dalam pelaksanaannya Program Wala lebih ditujukan kepada para mahasiswa. Sebagai upaya untuk menjaga keselamatan negara dari berbagai ancaman. Kala itu, di Jawa Barat sedang terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Keterlibatan mahasiswa dalam Wala dipandang dan dipercaya menjadi penggerak perjuangan yang tidak ingin tertinggal dalam hal keselamatan negara. Sehingga peran mahasiswa sangat diperlukan dalam program tersebut.

Presiden Sukarno pernah dibuat kagum, saat ia berkunjung ke Bandung dan melihat pasukan jajar kehormatan yang dikerahkan oleh Kolonel R.A. Kosasih dalam rangka menyambutnya ketika mengisi kuliah umum di Institut Teknologi Bandung.

 “Kos, itu tadi pasukan dari mana, kok nggak pakai tanda pangkat?” tanya Sukarno kepada Kolonel R.A. Kosasih.  

“Itu tadi pasukan Resimen Mahasiswa yang sedang dipersiapkan untuk membentuk Operasi Pagar Betis guna menumpas gerombolan Darul Islam/TII Kartosoewirjo.” Jawab Kosasih dikutip dari skripsi  Resimen Mahasiswa Sebagai Komponen Cadangan Pertahanan 1963-2000: Pembentukan Resimen Mahasiswa Mahawarman yang ditulis Raditya Christian Kusumabrata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

Resimen Mahasiswa ini merupakan Batalyon Wajib, terdiri atas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Barat yang mendapatkan pelatihan dari Divisi Siliwangi pada 13 Juni hingga 14 September 1959.

Trikora, Militer dan Resimen Mahasiswa

Pada 19 Desember 1961, Soekarno mengumandangkan seruan Tri Komando Rakyat dalam upaya membebaskan Irian Barat. Masyarakat dan mahasiswa menyambut komando tersebut dengan tekad mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia.

Berbagai program latihan ketangkasan keprajuritan diberikan kepada kalangan mahasiswa. Hal ini merupakan upaya kewaspadaan nasional. Kolonel R.A. Kosasih selaku Ketua Penguasa Perang daerah I Jawa Barat menanggapi komando tersebut dengan mengeluarkan keputusan  untuk membentuk Resimen Serbaguna Mahasiswa pada 10 januari 1962.

Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan dan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan dibentuknya Resimen Mahasiswa (Menwa) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Isi peraturan tersebut menekankan pemberian latihan-latihan pertahanan negara kepada setiap mahasiswa yang dikeluarkan pada 24 Januari 1963.  

Sejak terbitnya SKB itu, setiap perguruan tinggi di Indonesia diperintahkan untuk membentuk Menwa. Secara struktur organisasi, berada dibawah Kepala Perguruan Tinggi/Rektor. Namun dalam proses pelatihannya masih dilatih oleh Angkatan Bersenjata.

Tahun 1964 Menteri Koordinator Hankam/KASAB Jenderal TNI A.H. Nasution memerintahkan agar seluruh Menwa di perguruan tinggi di Indonesia disatukan ke dalam wilayahnya masing-masing dan berada dibawah asuhan Komando Daerah Militer (Kodam) masing-masing.

Instruksi tersebut disampaikan melalui saluran radiogram. Karena melihat ide dari Resimen Serbaguna Mahasiswa di Bandung dulu yang terbukti efektif secara keorganisasian ketika berada di bawah Kodam.

Sejak itulah, Menwa didirikan di setiap provinsi. Pada awalnya Menwa memiliki nama awalan “Maha” yang artinya, Agung, seperti Mahawarman di Jawa Barat. Mahajaya yang ada di Jakarta, dan Mahakarta di Yogyakarta.

Seiring berjalannya waktu dan terjalin kedekatan Menwa dengan ABRI. Ini menyebabkan Menwa menjadi organisasi kemahasiswaan yang terpisah dengan organisasi kemahasiswaan lainnya. Peran dan tugas organisasi yang militeristik membuat Menwa kerap dicap dan diidentikan dengan kekerasan. Sehingga menimbulkan perselisihan dari rekan organisasi kemahasiswaan lainnya.

Wacana Pengahapusan dan Perubahan Status

Akibatnya, sering terjadi rentetan perkelahian yang melibatkan anggota Menwa. Berbagai insiden yang terjadi menarik perhatian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro. Pada 1994, Mendikbud bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat meminta peninjauan kembali atas keberadaan Menwa.

Bahkan keinginan menghapus Menwa dari perguruan tinggi mendapat dukungan dari berbagai organisasi mahasiswa seperti Kelompok Cipayung 1994. Kelompok Cipayung menghimbau pemerintah untuk membentuk Kelompok Kerja dibawah Dirjen Personil Manusia dan Veteran Departemen Pertahanan Keamanan untuk mengkaji ulang keberadaan Menwa.

Pertengahan Mei 2000-an, terjadi pro kontra atas putusan peninjauan keberadaan Menwa. Pada 2 November, digelar rapat dengar pendapat antara Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dengan Komisi VI DPR RI di Senayan Jakarta.

Dirjen Dikti menjelaskan bahwa Menwa tidak bubar melainkan diatur kembali statusnya menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa yang pembinaannya diserahkan kepada masing-masing perguruan tinggi.

Beberapa alumni terkenal yang pernah bergabung dengan Menwa diantaranya seperti  Zulkifli Hasan yang merupakan Wakil Ketua MPR 2019-2024, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria dan Jhony G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informasi.


Ilustrasi: Rasgina Cahyani

Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *