Mendengarkan Lagu Karena Mewakili Diri

Seperti kata Ade Kurniawan—kawan saat menonton konser Payung Teduh, kurang elok rasanya menikmati musik ‘selow’ begini sambil berdiri. Di lain tempat ia tahu, konser payung teduh itu disediakan bangku.

Tapi Payung Teduh tidak tampil sendirian, ia harus berbagi panggung dengan Band Seringai. Seringai yang biasa tampil garang itu, mungkin akan tiba-tiba loyo—jika tahu penonton yang memadati konser duduk dengan tertib. Lagipula ini bukan konser tunggal, aah sudahlah—mari lupakan persoalan bangku.

Penonton kebanyakan ialah kalangan anak muda, ada yang datang sendirian—dengan jalan sedikit malu-malu sembari tundukan kepala. Kau yang datang berpasangan dengan kekasihmu, merasa lega. Tidak seperti kawanmu yang datang sendirian. Kau bungah jalan sambil memegang tangan kekasihmu, merasa paling romantis malam itu, dengan membayangkan payung teduh memainkan Berdua Saja.

Kau bergumam: Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata ketika kita berdua, hanya aku yang bisa bertanya, mungkinkah kau tau jawabnya. Khayalanmu meningkat, membayangkan kepala kekasihmu bertelekan di pundakmu—disertai gerimis kecil, tapi itu tidak terjadi. Kau hanya menjaga kekasihmu dari belakang, agar terhindar dari pria-pria bertampang mesum.

Kau yang emoh datang sendirian, memilih bergerombol bersama kelompokmu seperti kawanan domba di padang.
Malam itu, 21 Mei 2016 cuaca memang kurang bersahabat. Hujan turun dari sore hingga malam, sedikit menjadikan lokasi konser berlumpur. Di pintu masuk, pemeriksaan ada tulisan 18+.

Begitu melihat Payung Teduh di pentas, penonton bersorak-sorai. Is—sang vokalis tampil dengan potongan rambut baru. Tak ada lagi rambut panjang keriting yang biasa diikatnya, tampilannya malam itu, mengingatkanmu bentuk sarang tawon. Tapi juga muncul sosok bayangan Sai Baba, Babe Cabita dan Edi Brokoli. Ia tampil dengan kaos lengan panjang dan celana selendang warna putih. Instrumen musiknya tetap sama, ada cellobass, gitar, gitaulele, drum, dengan pemain tambahan keyboard (yang diperkenalkan Is sebagai wanita cantik).

Angin pujaan hujan langsung menggema, disambung suara penonton; “datang dari mimpi semalam bulan bundar/ bermandikan sejuta cahaya di langit yang merah…” Di sebelah kananmu, perempuan berkerudung menggoyangkan kepala dari kanan ke kiri, kiri ke kanan mengikuti irama lagu. Seperti orang berzikir. Sisi kiri, terlihat dua pria tanpa ekspresi. Ia tampak malu-malu membuka mulutnya.

Penonton begitu tenang dan khusyuk. Tidak ada jingkrak-jingkrak. Ketenangannya layak disejajarkan dengan konser tablig akbar.
Is mengajak penonton bersama-sama menyanyikan bait akhir Berdua Saja, penonton terlalu bersemangat mengucapkan lirik ketika Is masih memetik gitar. “Belum,” kata Is diselingi tawa penonton. “Hidup itu harus sabar.” Setelah jeda beberapa detik, lalu disambung suara Is dan penonton; takkan berpisah selamanya…

Seberapa fanatikkah mereka terhadap lagu-lagu Payung Teduh? Ada yang menyenangi sebuah lagu—karena merasa terwakili oleh lirik lagu tersebut. Perasaan, amarah, kesedihan, tawa, kenangan dan lain-lain. Mendengarkan lagu-lagu Payung Teduh adalah mengidentifikasi diri. Kau memilah dan memilih sekian lagu agar mewakilimu. Setelah memainkan lagu ketiga; Untuk Perempuan Yang Sedang di Pelukan, suara penonton menyusut pelan-pelan. Kau tidak tahu judul-judul lagu yang dibawakan Payung Teduh setelah itu, sampai Resah dimainkan.

Ketika menonton Payung Teduh malam itu, rasanya ada efek dramatis dalam lagu-lagu mereka. Perlahan dari lambat ke tempo semakin cepat. Bisa kita dengarkan dengan mereka membawakan Menuju Senja—yang bertempo cepat pada penampilan penutup.

Tak puas hanya dihibur dengan tujuh lagu, penonton berteriak minta tambahan lagu. Is bergeming, lantas melepas gitar dengan kerumunan yang memilih bubar. Kau tak perlu kecewa, di rumah kau bisa mendengarkan lewat ponselmu sambil mengingat kekasihmu. Kau yang masih sendirian, sedikit terobati oleh lirik-lirik—dengan harapan membuatmu tabah, dan kau yang ingin rebahan, memutar satu lagu sembari seulas senyum terpacak di bibirmu.

Gerimis sudah reda, di langit cuma ada gelap.

Penulis: Wahid Irawan
Editor: Dede Mutiara Yaste

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *