Aturan Pendirian Rumah Ibadah Dalih Aksi Intoleransi

Tempat ibadah yang disegel oleh Satpol PP Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau pada 25 agustus 2019 (foto : LBH Pekanbaru)

Oleh : Tomy erikson Ginting

Sebuah mimbar khotbah, bangku plastik yang disusun bertingkat, kotak persembahan dan perlengkapan ibadah lainnya tampak teronggok di dalam rumah dengan pondasi kayu. Hampir setahun semua itu tidak digunakan lagi untuk beribadah.

Bangunan beserta peralatan ibadah yang sebelumnya tiap hari Minggu menemani para jemaat bersekutu dalam doa ikut menjadi saksi diskriminasi dan intoleransi yang dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Efata, Desa Petalongan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau.

Setelah sebelumnya, Minggu 25 Agustus 2019, rombongan aparat serta instansi terkait Kabupaten Inhil menghentikan paksa proses ibadah yang dipimpin Pdt. Damianus Ganda Sinaga, sejak itulah hampir semua perlengkapan ibadah itu tergeletak di sudut rumah.

Pdt. Ganda tidak menyangka dari kejadian tersebut hak-haknya dan para jemaat GPdI Efata untuk beribadah bersama di rumah itu menjadi terbelenggu. Untuk bisa beribadah, mereka hanya bisa pasrah mematuhi keputusan diskriminatif pemerintah, dari tingkat desa hingga kabupaten.

“Ya, kini kami masih menunggu pembangunan gereja di tempat relokasi selesai,” tutur Pdt. Ganda penuh harap ketika Aklamasi berkunjung ke rumahnya (25/7/2020).

Tempat pekarangan lokasi jemaat mendirikan atap tenda darurat yang kemudian berujung penyegelan serta penghentian paksa ibadah pada 25 agustus 2019. Minggu, (26/7). (Foto : Tomy Ginting)

Negara Perampas Hak Beribadah Warga

Hari itu, Minggu 25 Agustus 2019, jemaat GPdI Efata memadati pekarangan rumah Pdt. Ganda untuk melaksanakan ibadah. Mereka duduk berjejer rapi di bangku plastik beratapkan tenda biru seadanya.

Dipandu pemimpin pujian, jemaat secara khusyuk menyanyikan lagu rohani bersama-sama. Diiringi gitar, suasana teduh meliputi setiap jemaat yang hadir meski mereka merasa pilu karena harus beribadah di pekarangan rumah menggunakan tenda darurat.

Usai menyanyikan lagu rohani, jemaat berdoa bersama untuk mendengarkan firman Tuhan. Pdt. Ganda Sinaga kemudian berdiri di balik mimbar bersiap menyampaikan khotbah sebagai siraman rohani bagi para jemaat.

“Kita akan membuka Alkitab kita yang terdapat di dalam… ,” belum selesai Pdt. Ganda melanjutkan kalimatnya saat muncul lebih dari 10 orang terdiri dari aparat, instansi pemerintah kecamatan Keritang dan kabupaten Inhil serta warga sekitar dipandu oleh Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Indragiri Hilir TM Syaifullah yang langsung memotong khotbah serta menyampaikan agar ibadah dihentikan.

“Kami ibadah Pak,” sela Pdt. Ganda kepada Kepala Satpol PP memohon untuk diselesaikan ibadah dulu dan setelah itu melakukan perundingan.

Namun hal tersebut tidak bersambut. Syaifullah yang saat itu mengenakan baju Dinas Satpol PP warna hitam tetap mendesak agar ibadah segera dihentikan.

“Jadi gini saja, saya harus tetap menjalankan tugas saya,” kata Syaifullah memaksa Pdt. Ganda serta jemaat yang hadir.

Kaget dengan jawaban tersebut, sontak Ibu Gembala Serti Pandiangan yang juga istri dari Pdt. Ganda Sinaga berteriak histeris, meminta tolong kepada Kepala Satpol PP sambil berlutut agar ia beserta jemaat diizinkan melanjutkan ibadah sejenak.

“Tolong kami, Pak. Kami mau beribadah,” teriak ibu Serti Pandiangan.

Ibu Gembala tak berhenti menjerit pilu. Kepada petugas lainnya ia juga memohon pengertian agar tidak membubarkan ibadah yang sedang berjalan, lantaran yang dilakukan jemaat GPdI Efata, yang juga sesama warga negara Indonesia, hanya menjalankan ibadah, bukan berbuat jahat kepada warga lainnya, tidak mengganggu.

Jemaat perempuan yang mengenakan blus biru terusan juga tampak berlutut, memohon kepada petugas yang hadir di siang itu, “Tolong, tolong… Mana hak kami, mana hak kami, Pak.”

Apa daya Ibadah siang itu tetap dihentikan paksa. Pdt. Ganda saat itu juga dibawa ke kantor Kepala Desa.

Peristiwa itu terekam dalam video pendek yang kemudian viral di sosial media. Dari postingan akun Twitter @SammiSoh sejak agustus 2019 video ini sudah ditonton lebih dari 439.000 warganet dan menuai beragam komentar.

Kepada Aklamasi, Pdt. Ganda menceritakan bahwa mereka sudah dengan segala upaya memperjuangkan setelah melalui beberapa kali musyawarah bersama pihak desa, kecamatan serta forum masyarakat yang menolak. Keputusan final pun disepakati, gereja tetap harus direlokasi, lahannya dicari oleh forum masyarakat yang menolak.

“Mau tidak mau, dengan agak terpaksa kami menerima, dengan lokasi yang cukup jauh, lebih dari 5 kilometer.” ujar Pdt. Ganda Sinaga.

Dan di tempat yang baru tersebut dari bulan maret 2020 sudah mulai proses pembangunan gedung gereja. Sambil menunggu selesai pembangunan, jemaat beribadah di lokasi sementara pada sebuah bangunan kontrakan.

Kisah Panjang Penolakan

Awal memulai panggilan nurani, Pdt. Damianus Ganda Sinaga mendapat surat tugas bertanggal 12 Desember 2014 untuk melayani di Desa Petalongan. Berdasarkan surat No. 012/SKT-MWI Riau/I-13 yang dikeluarkan Majelis Wilayah I GPdI Riau, Pdt. Wilson Simbolon, Pdt. Ganda kemudian menghadap Kepala Desa Petalongan.

Selama menjalankan tugas menjadi gembala GPdI di tempat barunya, keluarga Pdt. Ganda giat bersosialisasi dan mengikuti kegiatan yang dilakukan Desa Petalongan, salah satunya berpartisipasi dalam program siskamling dan istrinya di kegiatan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

“Dari 2014 sampai awal 2019 pelaksanaan ibadah di GPdI Efata berjalan lancar tanpa ada permasalahan apapun,” ungkap Pdt. Ganda.

Seperti disambar petir, 7 Februari 2019 Pdt. Ganda mendapat Surat Keputusan Musyawarah yang ditanda tangani masyarakat RT 01 dan RT 02 Dusun Sari Agung KM 10 Desa Petalongan. Intinya menolak diadakannya kegiatan kebaktian di hari Minggu dan rencana pembangunan rumah ibadah di wilayah RT 01 dengan dalil dasar hukum Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (Perber) 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Melalui sebuah surat No. 026/PEM-PTL/III/2019 yang ditanda tangani kepala desa Petalongan waktu itu (13/3/2019), Pdt. Ganda diundang untuk hadir pada Jumat (15/3/2019) ke Kantor Desa perihal klarifikasi atas pengaduan penolakan yang terjadi. Pdt. Ganda menghadiri, namun pertemuan tidak ada titik temu, karena pihak desa meminta Pdt. Ganda pindah dan membangun rumah ibadah yang jaraknya lebih 10 KM dari tempat ibadah yang dibangunnya. Ia tidak menyanggupi tawaran tersebut.

“Mengingat jemaat gereja yang juga sudah jauh dari tempat ibadah,” ujar Pdt. Ganda mengulangi alasannya saat pemanggilan tersebut.

Selanjutnya Pdt Ganda menceritakan setelah proses-proses negosiasi, Satpol PP kemudian melakukan penyegelan dan penghentian aktivitas ibadah di rumah kediaman Pdt. Ganda yang berlokasi di RT 01 Dusun Sari Agung Desa Petalongan pada 8 Agustus 2019. Dengan dasar : Perber No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah; Keputusan Bersama Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tertanggal 6 Agustus 2019; dan Surat Bupati Indragiri Hilir Nomor 800/BKBP/-KIB/VIII/2019/761.50 Tanggal 7 Agustus 2019.

Surat perintah dari Bupati Inhil perihal penghentian rumah tempat tinggal sebagai tempat peribadatan (foto : LBH Pekanbaru)

Relokasi Rumah Ibadah Bukan Solusi

Pdt. Ganda berpendapat bahwa relokasi cenderung bukan menyelesaikan masalah seutuhnya. Sebaliknya, lulusan Sekolah Teologi Salatiga ini melihat bahwa relokasi hanya memindahkan masalah.

Pdt. Ganda menjelaskan Gereja yang disegel ini secara geografis di tengah-tengah, strategis, dan masih bisa dijangkau dari rumah-rumah jemaat. Tetapi dengan relokasi, jarak dari tempat yang disegel ke lokasi yang dipindahkan bertambah lagi sekitar 8 km.
Hal lainnya, pada tempat relokasi di RT 03, sudah ada dua gereja, yaitu GBI dan HKBP. Karena itu, Pdt. Ganda melanjutkan, kurang pas rasanya di satu daerah ada tiga gereja yang berdekatan.

“Jadi seandainya secara organisasi, gereja-gereja di sana pun akan merasa kehilangan jika jemaat mereka beribadah bersama kita,” tutur Pdt. Ganda.

Lebih lanjut Pdt. Ganda ceritakan awal mula ia merintis gereja di RT 01 Dusun Sari Agung, Desa Petalongan, karena daerah ini dekat dengan perbatasan antara Kabupaten Inhu (Indragiri Hulu) dengan kabupaten Inhil. Terlebih lagi, dua gereja yang terletak di RT 03, selain jaraknya cukup jauh, akses jalan perkebunan belum diaspal, sehingga banyak orang-orang Kristen beribadah ke Inhu.

“Jadi sebelumnya, di daerah kami penduduk Nasraninya beribadah ke Inhu, karena di daerah kami ini, RT 01 dan 02, belum ada gereja,” jelas Pdt. Ganda.

Setelah penyegelan dan relokasi gereja, sambung Pdt. Ganda, kondisi sebagian jemaat GPdI Efata merasa kecewa, hingga mengundurkan diri sebagai anggota jemaat. Pdt. Ganda pun sempat merasa tertolak.

“Ya, mereka kami beri pengertian untuk bersabar, ada yang tetap bertahan. Namun, banyak juga yang sudah pindah, ada sekitar 10 KK setelah kejadian itu,” pasrah Pdt. Ganda.

Akan tetapi Ia pun perlahan-lahan kembali bangkit, memaafkan dan tetap bertegur sapa ketika berpapasan ataupun bertemu dengan masyarakat sekitar.

“Kalau kebencian ataupun dendam saya tidak ada. Keadaan pelan-pelan pulih, ya biarlah Tuhan terus mendamaikan hati, serta bagaimana kondusif lagi. Itu yang saya pelajari,” papar Pdt. Ganda.

Terkait sejarah daerah RT 01 dan 02 Desa Petalongan, Pdt. Ganda bercerita, dulu pernah ada yang mau membuka gereja (2006), tetapi ditutup karena masyarakat sekitar menolak. Demi pelayanan dan pengabdiannya, Pdt. Ganda menjadikan kejadian itu sebagai lecutan semangat. Sayangnya, tahun 2019 terulang kembali penolakan yang berujung penyegalan. Kali ini menimpa GPdI Efata.

Setelah kejadian tersebut Pdt. Ganda mengimani, bahwa di tempat penyegelan ini suatu saat nanti ada pelayanan dan tidak ada penolakan dari masyarakat, dengan semangat menjaga keberagaman dan toleransi antar agama. Seperti makna pemilihan kata ‘Efata’ yang ia ambil dari Markus 7:34 yang artinya terbukalah.

“Saya beriman, Efata, terbukalah, tiada yang mustahil,” ujarnya optimis.

Selanjutnya Kepala Desa Petalongan, Ahmad Fauzi menjelaskan bahwa polemik penyegelan gereja GPdI Efata salah satunya karena ada jemaat luar daerah yaitu kabupaten Inhu, yang beribadah, sementara syarat peraturan IMB harus tanda tangan dari jemaat daerah sendiri.

“Seandainya semua jemaat penduduk sekitar, sepertinya tidak akan menjadi persoalan,” kata Fauzi ketika Aklamasi berkunjung ke kantor Desa Petalongan (27/7/2020).

Kepala Desa Petalongan Ahmad Fauzi saat dijumpai di ruang kerjanya. Senin, (27/7). (Foto : Tomy Ginting)

Penambahan rumah ibadah seperti gereja di wilayah yang ia pimpin, Fauzi sendiri mengaku tidak mempermasalahkan. Tetapi, ia yang baru saja menjabat usai pemilihan kepala desa Petalongan Oktober tahun lalu menghimbau agar GPdI Efata mengikuti mekanisme yang berlaku.

“Kordinasi itu yang penting. Selagi untuk keberagaman ya sah-sah saja, dan tetap ikuti prosedurnya,” imbuh Fauzi yang memandang GPdI Efata belum melaksanakan aturan IMB.

Peristiwa pembubaran ibadah dan penyegelan GPdI Efata sendiri terjadi sebelum ia menjabat sebagai kepala desa di Petalongan.
“Yang penting proses dijaga, dan saling berkordinasi,” tutur Fauzi sambil menghimbau pentingnya kehidupan keberagaman saling menjaga dengan Pancasila sebagai semangat toleransi.

Perjuangan Minoritas di Negara Pancasila

Sebelas bulan setelah penyegelan GPdI Efata, jemaat kini beribadah di tempat-tempat sementara. Menumpangi sebuah mobil putih berplat H (sekitar Semarang, Jawa Tengah) yang di kiri dan kanan bodinya tertempel logo GPdI dan bertuliskan GPdI Petalongan Riau Melayani Dengan Kasih, Minggu pagi (26/7) Pdt. Ganda dan istri bersiap-siap berangkat ke ibadah sesi satu. Aklamasi ikut menumpang.

Di perjalanan menuju lokasi ibadah Pdt. Ganda bercerita mobil yang kami tumpangi adalah pemberian seseorang keturunan Tionghoa dari Jawa Tengah. Dua bulan setelah viralnya pembubaran ibadah GPdI Efata, orang itu menelepon dan menanyakan keadaan GPdI Efata dan apa yang dibutuhkan gereja.

“Spontan saja saya jawab, sebuah mobil. Kemudian orang itu menanyakan, kenapa butuh mobil, ya saya bilang karena jarak relokasi sekarang yang cukup jauh, serta untuk membawa jemaat yang tidak ada kendaraan,” cerita Pdt. Ganda.

Donasi mobil pun diantar oleh anggota orang tersebut dan membuat Pdt. Ganda takjub, tidak menyangka, ada kebaikan di tengah perjuangan yang tidak mudah dihadapi GPdI Efata.

Mobil yang diberikan oleh salah seorang dari jawa tengah untuk membantu pelayanan GPdI Efata, Minggu (26/7. (Foto : Tomy Ginting)

Perjalanan pagi itu bertolak dari lokasi yang disegel ke arah utara menyeberangi jalan M. Boya menuju PT. PAL (Panca Agro Lestari). Letaknya di Desa Danau Rambai, Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Inhu. Meskipun berada di wilayah kabupaten sebelah, namun untuk jarak dari gereja yang disegel ke tempat ibadah sementara ini lebih terjangkau.

Sebelum sampai lokasi, memasuki wilayah perkebunan warga kendaraan yang kami tumpangi melewati jalan yang belum diaspal dan cukup sempit jika dua mobil berpapasan. Jalanan bergelombang, kubangan ada di mana-mana.

Sebuah portal pintu masuk area PT. PAL dilewati kendaraan menuju Divisi 5 dengan total jarak hampir 8 KM. Salah satu kediaman jemaat berada di Divisi 5 untuk menjadi tempat ibadah sementara para jemaat, yang sebagian besar ada di dalam PT PAL.
Sampai di lokasi tampak wajah-wajah cerah bersahaja para jemaat. Mereka yang terdiri dari beberapa orang tua, remaja serta anak-anak saling bersalaman.

Tikar pun dibentang sebagai alas jemaat bersimpuh serta berdiri saat ibadah digelar. Belum semua datang, namun suasana akrab tetap terjalin.

Pukul 08:30 ibadah dimulai. Ibu Pdt. Serti Pandiangan memandu dan memimpin pujian yang diiringi petikan gitar Pdt. Ganda. Suasana ibadah semakin teduh saat jemaat menyanyikan lagu-lagu rohani. Segenap kesederhanaan dan keterbatasan ini tidak menjadi penghalang bagi jemaat tetap bersekutu untuk beribadah.
Prosesi ibadah berlanjut dengan khotbah yang disampaikan Pdt. Ganda dengan Alkitab di tangannya.

Suasana ibadah di lokasi pertama pada areal PT PAL, Minggu, (26/7). (Foto : Tomy Ginting)

Salah seorang jemaat Feri Halawa (32) berharap ke depannya mereka aman dan tentram dalam beribadah serta tidak ada lagi mengalami kejadian serupa. Feri yang sehari-hari bekerja sebagai buruh PT. PAL ini menjadi salah satu saksi mata saat terjadi penyegelan dan pembubaran paksa ibadah GPdI Efata. Ia tidak menyangka dengan tindakan represif aparat pada saat penyegelan itu.

“Sedih, kok mereka seperti itu,” ucapnya dengan raut wajah keruh. Pancasila tidak serta merta menjamin Feri dan jemaat GPdI Efata lainnya memperoleh keadilan dari kebijakan pemerintah.

Kemudian kami bergerak keluar dari area perkebunan PT PAL pkl. 10 lewat untuk menjemput beberapa jemaat yang kediamannya berada di pinggir jalan lintas M. Boya dan bergerak ke arah selatan, mobil yang kami tumpangi memasuki gapura dusun Sari Agung, menuju RT. 03 Desa Petalongan. Akses jalan belum diaspal dan harus menempuh jarak sekitar 10 Km. Lebih kurang 30 menit kemudian kami tiba di kontrakan sementara untuk melaksanakan ibadah. Jam 11 ibadah sesi dua ini pun dimulai.

Tempat ibadah di lokasi kedua pada RT 03 Dusun Sari Agung. Minggu, (26/7). (Foto : Tomy Ginting)

Selesai ibadah sesi dua, kami bergerak lagi 200 meter ke dalam untuk melihat progres pembangunan gereja di tempat relokasi. Tanah gereja adalah hibah dari pemerintah kecamatan dan desa. Untuk pembangunan gereja yang dimulai dari Maret 2020, salah seorang warga dari Inhil menjadi sponsor.

Progres pembangunan Gereja di tempat relokasi yang sudah mulai di bangun dari maret 2020. Minggu, (26/7). (Foto : Tomy Ginting)

Semangat Toleransi Jalan Pemenuhan Hak Warga Minoritas

Pengurus LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pekanbaru, Samuel Purba, SH, yang turun ke lapangan membantu proses advokasi terkait penyegelan GPdI Efata, menuturkan bahwa pendirian rumah ibadah yang seharusnya difasilitasi negara, pemerintah daerah malah cenderung menyudutkan umat kelompok minoritas tertentu yang belum membuat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

“Bukan tidak ingin tertib administrasi, tapi memang pasti akan terbentur saat pengurusan IMB. Coba didata, banyak rumah ibadah yang tidak ada IMB,” protes Samuel.

Samuel memaparkan IMB kerap dipakai untuk membungkus persoalan-persoalan pribadi. Hingga berujung pembenaran aksi-aksi vandalisme serta pelarangan ibadah.

Samuel melanjutkan, sebaiknya agama tidak terlalu diintervensi ataupun diatur pemerintah. Karena itu akan menimbulkan permasalahan.

Saat menjumpai tim LBH Pekanbaru. Jumat, (24/7).

Masih di tempat yang sama, Kepala operasional LBH Pekanbaru Rian Sibarani menegaskan, berdasarkan undang-undang, setiap orang berhak beribadah sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. Ironisnya, pada kasus diskriminasi yang menimpa GPdI Efata, ia memandang bukan bangunannya saja yang disegel, aktivitas beribadah mereka juga tidak diperbolehkan.

Ia menyesalkan keterlibatan Satpol PP dalam pembubaran peribadatan itu dan tanda tangan pemerintah daerah yang menyegel bangunan tersebut. Ia menuturkan, artinya pada waktu itu pemerintah daerah tidak memberikan keamanan serta kenyamanan bagi umatnya untuk melakukan peribadatan.

Ia melanjutkan, jika izin untuk mendirikan bangunan belum didapatkan, pemerintah harus mencarikan solusi, bukan pembubaran peribadatan dan penyegelan rumah ibadah.

“Oke relokasi, tapi yang bisa ditempuh. Kalau jaraknya jauh, ya sama saja,” ujar Rian menyesalkan relokasi yang justru mempersulit aktivitas beribadah para jemaat.

Mengenai IMB dari Perber 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah Rian menegaskan bahwa hal itu untuk izin mendirikan bangunan, bukan izin beribadah. Artinya, jika bangunan itu bukan tempat ibadah, tidak lantas jemaat dilarang beribadah. Warga beribadah bukan pelanggaran hukum.

“Ini harus dijelaskan dulu. Jika sebuah kantor atau bangunan kemudian diperuntukkan membuat narkotika, nah itu baru salah peruntukannya dan berbahaya,” papar Rian.

Ia berpandangan negara mempunyai tiga kewajiban, yaitu menghormati, melindungi serta memenuhi hak-hak warganya.

Seorang tokoh pemuda Nahdlatul Ulama (NU) yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua GP (Gerakan Pemuda) Ansor Kabupaten Pelalawan Puput Jumantirawan ikut merasakan miris dan prihatin atas kemelut yang menimpa GPdI Efata Inhil, yang dekat dari wilayah tugasnya.

Bagi Puput, Perber 2006 adalah produk hukum yang harus dihormati bersama pelaksanaannya. Semangatnya untuk menciptakan toleransi dan kerukunan umat beragama. Namun diakui Puput aturan ini kerap menimbulkan polemik.

Ia menunjukkan ketentuan memberatkan dari Perber, yakni Pasal 14 soal izin pendirian rumah ibadah yang mengharuskan minimal 90 tanda tangan umat pengguna rumah ibadah yang disahkan pejabat setempat, dan mendapat dukungan tanda tangan paling tidak 60 warga setempat.

Dalam pelaksanaannya, lanjut Puput, lebih banyak menjadi penghambat pendirian sejumlah tempat ibadah warga minoritas, sekaligus menjadi pembenaran aksi-aksi intoleransi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Aturan ini menjadi bomerang bagi keberlangsungan toleransi di Indonesia, terutama kelompok minoritas dalam entitas sosial sebuah wilayah.

“Korbannya siapa? Bukan hanya sahabat kita Nasrani atau agama lain, Islam juga mengalaminya. Misalnya, perusakan musala di Kelurahan Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Januari 2019,” beber Puput.

Untuk penyelesaian masalah-masalah seperti ini Puput memberi masukan, pendekatan dialogis harusnya dikedepankan. Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus dimaksimalkan untuk meredam konflik antaragama.

“Dalam rangka itu kami, GP Ansor dan Banser, selalu menebar nilai-nilai keberagaman. Nilai-nilai toleransi antaragama. Agar tidak terjadi konflik antaragama yang akan membawa kita pada perpecahan antar anak bangsa. Mengapa Ansor-Banser jaga Gereja ? Kami ingin menyampaikan bahwa Islam itu rahmatan lilalamin. Islam itu rahmat bagi sekalian alam. Islam itu indah dan bersahabat,” jelas Puput penuh ramah.

Puput menjelaskan negara bertanggung jawab menjamin hak setiap warga negaranya. Sudah jelas diatur Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Seharusnya, Puput menegaskan, tidak boleh hierarki perundang-undangan di bawahnya bertentangan dengan konstitusi negara.

Jika ada wacana Perber diubah menjadi Peraturan Presiden, ia mengajak semua pihak mendorong Presiden membuat regulasi yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Kalau mendirikan rumah ibadah harus diatur secara administratif, sebaiknya juga dengan semangat toleransi.

“Kita sudah lelah mendengar konflik agama gara-gara persoalan rumah ibadah. Seakan tak ada habisnya,” pungkas Puput.

Perlakuan diskriminatif atas hak beragama dan menjalankan keyakinan yang menimpa GPdI Efata merupakan perampasan hak dan kebebasan konstitusional segenap warga dengan dalih menggunakan Perber (2006) tentang Pendirian Rumah Ibadah. Padahal, siapapun tidak ingin mengalami wilayah kehidupan yang paling penting dan dasar bagi manusia, yakni menjalankan agamanya secara damai, dihalangi dan dibatasi.

Berkaca dari diskriminasi yang dialami GPdI Efata, Pdt. Ganda berharap ke depannya tidak ada lagi aksi-aksi penolakan dan diskriminasi pendirian rumah ibadah di manapun.

“Kiranya masyarakat di tempat ini boleh saling menerima, dan daerah ini kalau sudah memungkinkan atau membutuhkan tempat ibadah kiranya masyarakat setempat jangan lagi melakukan hal-hal yang demikian,” tandasnya.


Liputan ini merupakan program beasiswa dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk) bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KemenkumHam RI) serta Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia dalam Fellowship Liputan, dengan tema “Anak Muda dan Penyebaran Jurnalisme Keberagaman di Masa Pandemi Corona.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *