Silang Sengkarut Mengatasi Sampah di Pekanbaru


Penulis: Gerin Rio Pranata


Film Pulau Plastik yang dirilis ketika peringatan Hari Bumi Sedunia, 22 April 2021 lalu mendapatkan respon yang tinggi dari masyarakat. Film besutan Rahung Nasution dan Dandhy Dwi Laksono ini sudah mendapatkan rating 97 persen di Google Film. Pulau Plastik sendiri merupakan film yang menggambarkan perjalanan penelusuran sampah plastik sampai masuk ke tubuh manusia.

Film ini juga menghadirkan tokoh utama seperti, Gede Robi—vokalis dan gitaris Navicula, pendiri Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton)—Prigi Arisandi dan Tiza Mafira yang tergabung dalam Non-Governmental Organization (NGO) Diet Kantong Plastik.

Film yang mengambil latar daerah dari Bali hingga Jakarta ini menggambarkan tiga fakta mengenai dampak polusi plastik bagi lingkungan dan kesehatan. Untuk dampak lingkungan sendiri, Robi memaparkan fakta bahwa plastik yang diproduksi sejak 1950, hanya 9 persen yang berhasil di daur ulang, 12 persen dibakar, dan 79 persen sisanya masih ada di bumi.

Sampah-sampah plastik tersebut biasanya berasal dari plastik sekali pakai. Hal ini dapat menimbulkan dampak lingkungan seperti, bertebarannya limbah sampah plastik di sungai maupun laut, mencemari ekosistem, dan sampah yang dimakan oleh hewan akhirnya kembali kepada manusia itu sendiri.

Untuk dampak kesehatan yang ditimbulkan dari membludaknya sampah plastik ketika merusak ekosistem laut yaitu, mengganggu sistem saraf dan kekebalan tubuh. Hal ini dikarenakan plastik yang mengandung komponen plasticizer.

Berdasarkan laporan Tempo, Peneliti Universitas Airlangga, Windarmanto mengatakan, jika plasticizer masuk dalam tubuh maka akan mengganggu sistem endokrin. Bahkan di film tersebut juga melakukan penelitian dengan menguji 100 sampel feses manusia dan seluruhnya terbukti positif mengandung mikroplastik.

Penyebaran sampah plastik baik di laut maupun sungai di Indonesia menjadi salah satu masalah yang cukup serius. Selain faktor-faktor diatas, masalah sampah plastik selanjutnya terkait cara pengelolaan sampah. Selain terjadi di Bali dan Jawa, masalah ini juga terjadi di Pekanbaru, Riau.

Melalui kanal resmi Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Pekanbaru, tumpukkan sampah yang terdapat di jalan protokol Pekanbaru—awal tahun ini—karena habisnya kontrak pengangkutan sampah oleh pihak ketiga pada akhir 2020 lalu. Pada masa transisi ini pula pengelolaan sampah dilakukan secara swakelola oleh DLHK sendiri.

Hal ini mengakibatkan penumpukan sampah di jalan protokol Pekanbaru. Penumpukan sampah ini juga terjadi di berbagai Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Adapun tempat-tempat yang banyak dijumpai tumpukan sampah yaitu, Jalan Juanda, Jalan HR Soebrantas, dan Jalan Kapau Sari, Tenayan Raya, Pekanbaru.

Selain pengangkutan sampah, hal yang cukup serius dan menjadi masalah selanjutnya adalah upaya pengurangan sampah melalui program 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Pekanbaru Nomor 08 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Sampah, program tersebut seharusnya berjalan dan dikelola melalui Tempat Pembuangan Sampah (TPS) 3R. Terkait TPS 3R sudah termaktub di dalam Perda tersebut pasal 15 poin d yang menyebutkan pengolahan sampah, dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah.

Menurut Pelaksana tugas (Plt) Kepala DLHK Pekanbaru, Marzuki S.E, M.Si, program 3R sebelumnya sudah berjalan, namun belum terorganisir. Hal ini dikarenakan DLHK Pekanbaru belum memiliki TPS 3R.

“Dulu ada TPS 3R yang dibangun oleh provinsi, namun tidak terkelola dengan baik,” ujarnya.

Selain tidak memiliki TPS 3R, Marzuki menjelaskan program 3R tidak berjalan dengan baik karena fokus teman-teman—anggota DLHK sebelum ia menjabat sebagai Plt Kepala DLHK Pekanbaru—sebelumnya yaitu pada pengangkutan sampah.

Sejauh ini DLHK Pekanbaru sudah mensosialisasikan perihal pembuangan dan pengelolaan sampah hingga ke organisasi-organisasi warga. Sebut saja ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Majelis Taklim, hingga perangkat-perangkat pemerintah seperti Lurah, Camat, RT, dan RW.

Dalam hal ini, Ahlul Fadli, Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau juga berpendapat yang sama perihal cara sosialisasi yang dilakukan oleh pihak DLHK. Terutama pada organisasi PKK. Menurutnya, salah satu aktivitas sampah rumah tangga berasal dari dapur. Oleh sebab itu penting untuk pemerintah mengedukasi masyarakat, khususnya ibu-ibu.

“Untuk menarik minat masyarakat, apalagi kesadaran masyarakat sudah tinggi (dalam membuang sampah), pemerintah juga harus memberikan penghargaan kepada masyarakat, seperti RW, tokoh lingkungan, atau masyarakat itu sendiri.” Tutur Ahlul menjelaskan tujuan ini dilakukan agar masyarakat merasa terlibat dalam proses pengelolaan lingkungan hidup.

Tidak bisa dipungkiri, sampah menjadi masalah bersama yang harus diselesaikan oleh semua pihak mulai dari pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarkat) pemerhati lingkungan, hingga masyarakat itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Gede Robi, selama ini soal penanganan sampah di Indonesia seperti gerakan mengepel lantai yang masih bersimbah air.

“Selama ini yang kita lakukan itu adalah gerakan mengepel. Kita bersihin, besok orang buang lagi. Ibaratnya Indonesia saat ini adalah ember yang sudah penuh air dan airnya tumpah. Jadi kita ini ngepel, ngepel, ngepel, ngepel. Sementara diatasnya kerannya ngocor. Yang bisa mematikan keran hanya regulasi,” ujar Gede Robi.


Editor: Rahmat Amin Siregar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *