Penjaga Makam

_MG_1459 Masjid Syabbudin, Siak Indrapura
Kehidupan sehari-hari lelaki tua berjenggot tebal dan hitam dengan tinggi kira-kira 169 cm dengan sehelai kopiah putih diatas kepalanya, berbaju gamis berwarna biru ini, sedang mengumamkan doa-doa menurut kepercayaannya. Saat itu saya tepat disebelah bapak itu. Tak lama saya pun keluar dari rumah ibadah yang dibuat 1,5 abad lebih di bangun di negeri itu.
Saya pun tidak tahu siapa orang disamping saya, melainkan orang tersebut biasa disebut dikampung kami sebagai djahula-kelompok orang yang menyebarkan agama islam. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, siapa dia? Siapa orang-orang berbaju gamis dengan bermacam corak warna pakain dihelainya, dan seberapa sering mereka beribadah ditempat ini ? tapi, hal itu tidak sampai saya fikirkan lebih jauh.

Saya pun tersontak, dengan jantung berdetuk, ingatan kembali pada satu tugas khusus, liputan berita khususnya. Disitu, di salah satu kabupaten Riau, Siak Indrapura biasa orang menyebut. Salah satu peninggalan bersejarah, dari raja Siak yang sudah hampir punah seluruh unit kerajaannya, sejak berdiri tahun 1723 dengan kepemimpinan Sultan Abdul Djalil Rachmansyah.

Satu bangunan tepat disebelah masjid Raya Syababuldjub- tepat saya melaksanakan ibadah. Berdiri sebuah bangunan dengan luas sekitar 6×6 meter. Kaki beralaskan sepatu hitam semi pantopel ini, mengiring rasa ingin tahu saya kebangunan tersebut. Penduduk setempat memberi nama makam pahlawan nasional sultan syarif kasim II beserta keluarga Siak Sri Indrapura. Jika dilihat, tidak ada yang menarik dari bangunan makam yang dibangun, karena saya yakin, peradabadan abad 20 ini mampu membuat bangunan lebih indah dari bangunan didepan mata saya ini. Tanpa diperintah oleh tubuh, melainkan syaraf otak menginstruksikan kepada ke dua kaki, tanpa disadari, saya telah berdiri didalam bangunan tersebut. Satu fenomena menarik dari bangunan itu, terdapat salah tirai besar berwana kuning menyelimuti salah satu dari enam kuburan tertanam, tepatnya di bangunan kuburan Sultan Syarif Kasim II-keturunan raja terakhir kerajaan Siak Indrayana.

Disekeliling saya hanya ada pria berjenggot tipis berwarna hitam, menggunakan kaca mata sedikit tebal, dengan kalung tasbeh di lehernya, dia salah satu teman saya, Eko Kurniawan namanya. Berbagai pertanyaan dan pernyataan tentang kuburan tersebut dilema besar bagi rasa ingin tahu saya.

Beberapa penduduk sekitar saya tanyakan, siapa penjaga makam ini? Dimana tempat tinggalnya? Dan kenapa dia tidak ada ditempat, saat orang-orang mengunjungi makam tersebut. Saya peranjakan kaki dari makam tersebut, untuk menyusuri beberapa pertanyaan tadi. Saat keluar dari halaman masjid berlapisan keramik dan renovasi itu, disebrang tempat saya berpijak, duduklah seseorang pria paruh baya, sedang menikmati kopi hitam dengan cangkir putih itu,

“Assalamualaikum, maaf pak saya boleh tanya? ” dengan ekspresi terdiam dan berusaha membalas ucapan saya,

“Ia, ada apa?” tanya lelaki itu pada saya,

“ Saya mau tanya pak, siapa penjaga makam sultan didepan ini? Kok tak nampak batang hidungnya? ”, “Pak ismail sahutnya” dengan nada rendah, sedikit berdahak, karena kerutan wajahnya saat itu, tidak dapat menipu usia dan kesehatannya. “Saya boleh tau pak, dimana tinggal bapak,…. islam, eh ismail maksud saya tinggal?”, “Rumahnya dari simpang, itu naik keatas, dan cari saja gang ar-rahman, masuk dalam gang itu.” Ucapan terimakasih terlontar kepada bapak tua yang hanya mengenakan cenalan kasual putih tanpa mengenakan baju terlihat tulang-tulang rusuknya yang nampak jelas beserta rambut yang mulai memutih.

Penyelusuran orang yang saya maksud itu ternyata tidak dekat jarak yang ditempuh seperti bapak paruh baya maksud, sekitar 100 meter dari tempat saya bertanya, rasa haus tenggorokan dan kabut asap yang sedang menyelimuti Provinsi Riau saat ini, saya hanya dapat melihat sekitar 50 meter lebih jarak pandang, dan sangat menyekat sela-sela hidung sampai ditenggorokan. Saya pun menghampiri salah satu warung berdinding tembok dan dilapisi beberapan papan kayu tersebut, untuk menanyakan kembali tujuan yang saya maksud. “maaf bu, saya ivan dari Lampung, saya lagi pelatihan jurnalis di Universitas Islam Riau, saya mau tanya bu, rumah pak ismail penjaga makam sultan depan masjid itu dimana ya?”, sempat berfikir lama, dari pengenalan saya sampai pertanyaan saya, ibu itu menjawab, “dari depan sini, ada pengkolan, belok kekanan dan naik trus susuri saja dan cari gang ar-rahman” ucap ibu warung-biasa disebut tempat tinggal saya. Sebelum melanjutkan perjalanan, tertarik mata melihat minuman dingin untuk dibeli, soya milk-kedelai susu didalam kemasan, saya beli dengan koceh 5000 ribu itu.

Sempat bertanya di dua tempat  saya bertanya, dan tersasar sekali di salah satu rumah warga. Gang berukuran 1 meter itu ternyata jalan masuk rumah penjaga makam tersebut. Saya pun menghampiri rumah diujung gang tersebut. “tok..tok..tok.. assalamualaikum?”tak ada panggilan menyaut dari dalam rumah, hampir putus asa saat itu, tapi, tak lama suara samar terdengar dari dalam rumah, “walaikum salam” derap langkah cepat dari dalam rumah mendekat daun pintu tersebut. “ada apa dek?” tanya salah satu perempuan dengan menggunakan gamis gelap hingga perhelangan tulang kering itu.
“ini rumah pak ismail ? penjaga makam sultan syarif kasim?”, menyambut dengan nada pelan penuh tanya,

“Ia, benar. Ada apa ya? ”

“Saya dari mahasiswa dari lampung bu, mau bertanya-tanya soal makam tersebut. Bapak ada bu?”

“Ada, bentar ya”.

Tak lama bapak ismail yang saya cari, menampakkan batang hidungnya, dan saya pun mulai memperkenalkan diri saya hingga dia pun bertanya-tanya kepada saya.
Lelaki kelahiran 23 april 1968 ini, telah menjaga keburan sultan tersebut, sejak tahun 2005 silam. Kesehariannya menjaga kebersihan makam, tugasnya menyapu halaman sekitar makam, memotong rumput, hingga melarang berbagai ritual warga yang ingin berjiarah di makam itu.

Secara prosedural, jika ingin menlakukan ritual, harus mengajukan ijin kepada dinas pariwisata setempat, yang sudah menadapatkan ijin baru bisa beritual ditempat makam itu. “saye kadang bingung, macam orang-orang ini datang ke makam minta doa”, ucap ismail. Kuburan itu sudah ada 1 abad-an, dan menjadi salah satu ikon siak riau. Jadi kalau ingin dipindahkan, itu tidak mungkin. Antara masjid dan makam tersebut hanya berjarak 1.5 meter, dan terdapat beberapa makam lainnya disekitar makam utama. Didalam bangunan makam itu, terdapat enam makam, makam Sultan Syarif Kasyim II, makam Tengku Sulung Sayed Kasim, makam Tengku Syarifah Latifah, makam Syarifah Fadhlon, dan makam Pangeran Tengku Embong Sayed Muhammad.

Penjaga makam tersebut tidak tergantung keturunan, tapi tergantung dinas pariwisata yang menunjuk penjaga makam tersebut, cerita ismail-asik. Selain menjaga makam, kesehariannya diisi sebagai guru ngaji tiap pagi dan sore hari, istrinya membantu mengajarkan anak-anak didiknya, kerjaan ismail itu sudah 20 tahun dilakoninya. Tidak ada penghasilan tambahan untuk kehidupan suami-istri dengan tiga orang anak ini. Tapi, ismail selalu bersyukur dengan kehidupannya saat ini. Dia pun pernah pergi naik haji beberapa tahun lalu di awal abad 20-an, baginya itu sebuah kehendak tuhan yang luar biasa. Kalau dihitung-hitung, penghasilannya perbulan saat itu, makan saja tidak cukup, biasa sekolah pun harus banting tulang kesana kemari. Rejeki berkata lain, dia dapat kouta haji langsung dari saudi arabia, banyak kenalan teman katanya sesama penyiar agama.

Tahun 2010 lalu, setelah anak pertamanya menamatkan sekolahnya di salah satu menengah atas daerah itu, tawaran lanjutan pendidikan pada salah satu kepala dinas pariwisat tempat diangkatnya ismail.

“Anak mu tidak melanjutkan sekolah ismail?, mau sekolah anak mu?, kalau mau nanti saya biayai” cerita ismail kepada saya. Saat itu kepala dinas pariwisata adalah bapak Kadri Havis, dan sekarang menjabat kepala dinas pendidikan didaerah setempat. “saya termasuk pegawai honorer, gaji saya”.

Pengalaman 1 kali bermimpi bertemu dengan sultan, dipandangnya masam muka sultan kepada saya, di tengoknyanya perempuan itu, ternyata sultan memarahi orang yang berjiarah tidak memakai jilbab. “Saya termasuk honorer pemda, masalah gaji dari pemda per-bulan, tergantung lambatnya dewan ketok palu setiap bulannya, macam mana ditabung, anak saya sekolah islam 150ribu, tengah hari dibelikan sate atau lontong 10 ribu, abangnya sudah tamat SMA, dia sudah bekerja sendiri. Kita hanya bantu uang asrama saja, 600 perbulannya. Uang sekolah 1,200, anak pertama. Bagaimana mau ditabung tidak?”, ismail ini sangat terbuka kepada pendatang baru, pelayanan ramah selalu diberikannya, termasuk kepada saya.

Tak terasa obrolan kami berdua pun sampai puncaknya, adzan ashar berkumandang, dan kami pun menyudahi pembicaraan. Masuk ismail kedalam rumah untuk bersiap-siap. Sekeluarnya, lelaki berjenggot hitam, berkopiah putih, berbaju gamis biru tua disamping saya sholat siang hari, ternyata penjaga makam dengan penuh warna kesedihan, canda, tawa dibalik mata lelaki 45 tahun ini penuh cerita.(Liputan Peserta DJTL 2013)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *