Komisi Yudisial Temui Media Massa Guna Tercapainya Sinergisitas


Oleh : Rahmat Amin Siregar


Komisi Yudisial Republik Indonesia menggelar acara sinergisitas dengan media masa yang mengusung tema “Peran Pers dalam Penguatan Kewenangan Komisi Yudisial” di cafe rumah Gege’s jalan Gajah Mada, Pekanbaru. Acara ini diikuti oleh wartawan media cetak, elektronik dan online di wilayah Pekanbaru. (27/11).

Kegiatan ini bertujuan untuk optimalisasi peran eksternal Komisi Yudisial yang dimana bertugas mengawasi perilaku hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), sementara media massa bisa menjadi informan awal terjadinya pelanggaran KEPPH melalui peliputan dan pemberitaan guna membantu Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, serta mewujudkan akuntabilitas peradilan.

”Mengenai peran publik dalam hal ini media massa, fakta menunjukkan bahwa kalau misalnya satu perkara pelangggaran kode etik terpublikasi lewat media, maka reaksi dari lembaga peradilan lebih diatas rata-rata” jelas Dr. Farid Wajdi S.H., M.Hum Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial.

Memperkuat wewenang Komisi Yudisial melalui Revisi Undang-Undang     

Dalam proses menjalanan wewenang dan tugas Komisi Yudisial terkait menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat perilaku hakim menghadapi berbagai dinamika maupun tantangan. Pertama, terdapat lembaga lain yang mempunyai wewenang dalam pengawasan, yaitu Mahkamah Agung. Kedua, adanya perbedaan tafsir dalam memahami garis batas antara pelanggaran teknis dengan pelanggaran perilaku hakim antara Komisi Yudisial dan Mahmakah Agung.

Untuk memperkuat wewenang serta tugas, komisi yudisial mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rakyat Indonesia (RI) agar Revisi Undang-Undang Komisi Yudisial masuk ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional. Salah satu poin memperkuat kewenangan Mahkamah Yudisial agar rekomendasi sanksi hakim yang diberikan bersifat final.

 Selain itu Komisi Yudisial juga terus mendapatkan potongan anggaran dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang nantinya pada tahun 2020 Komisi Yudisial tidak lebih dari 102 mililyar dan 75% nya digunakan untuk operasional.

Dugaan KEPPH selama priode januari-september 2018   

Dalam hal pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial di dasarkan bahwa adanya fakta yang menunjukkan bahwa ada 23 hakim dan lima pejabat pengadilan terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara itu, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung telah melakukan pemberhentian terhadap 35 orang hakim melalui Majelis Kehormatan Hakim. Disamping itu, Komisi Yudisial juga telah melaksanakan Majelis Kehormatan Hakim untuk sebanyak 53 orang hakim yang di duga melakukakan pelanggaran KEPPH.

Adapun isu-isu terkuat mengenai KEPPH mengenai kasus gratifikasi/suap, pengaturan perkara, pertimbangan yang aneh, dan putusan-putusan yang dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini menyangkut pada moralitas dan integritas hakim.

Apabila isu ini dikaitkan dengan fakta kinerja lembaga peradilan, masih terdapat persoalan secara subtantif belum selesai misalnya percepatan putusan di Mahkamah Agung sudah mendekati ideal versi frekuensi waktu, tetapi apakah kemudian dengan waktu yang begitu cepat beriringan dengan pelayanan yang lebih baik dan putusan berkualitas.

Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Riau, Dr. Mexasai Indra, S.H., M.H. memandang bedasarkan aspek filosofis yang menyentuh historis mengenai keharusan pengawasan hakim.

”Kenapa kok dulu paradigma negara hukum kita itu ber-hukum dengan cara-cara yang positivistik, bahwa keadilan dan kepastian hukum itu baru bisa di dapatkan ketika segala sesuatunya itu dituangkan dalam bentuk tertulis”. ungkapnya.

Hal ini berkaitan dengan sejarah hakim-hakim dalam negara tradisi civil law yang diikat oleh paradigma ber-hukum yang positifisme.

”akar sejarah itu mereka ndak jujur, jadi dulu di eropa awalnya pembentukan hukum itu seperti dalam tradisi common law juga, Judgeman law, diserahkan kepada hakim untuk membentuk hukum nya.” Jelas Mexasai.

Judgeman law ini pada perkembangan nya menimbulkan masalah karena tindakan hakim yang cendrung tidak jujur dan mendapat protes dari masyarakat. Apabila pembentukan hukum itu hanya diserahkan kepada hakim maka masyarakat akan mendapat putusan-putusan yang tidak jujur. Bagaiman cara menertibkan hakim-hakim yang tak jujur, maka itu di control.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Riau Zulmansyah Sekedang, menyatakan kesetujuannya terhadap wacana memperkuat kewenangan Komisi Yudisial.

“Ketika misalnya sekarang ada wacana kewenangan Komisi Yudisial ini diperkuat, tentu kita setuju. Supaya lembaga ini tidak dianggap “banci” karena perbuatan nya ada tapi tidak masuk pidana, akhirnya tak bisa dihukum” ungkapnya.

Ia memandang sinergisitas pers dengan Komisi Yudisial haruslah sesuai dengan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalisti, dan Peraturan serta Pedoman oleh Dewan Pers.

“Kami selalu siap mendukung Komisi Yudisial dengan kewenangan yang diberikan kepada komisi ini, tetapi harus ada kerjasama yang baik diantara kita” lanjut Zulmansyah.


Editor : Intan Salfitri


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *