Teladan Gus Dur Dalam Toleransi Beragama


Penulis: Rahmat Amin Siregar


Abdurrahman Wahid memulai masa kepresidenannya sejak 20 Oktober 1999. Ia menjadi tokoh yang santer menyoal keberagaman di Indonesia, bahkan jauh sebelum dia menjadi benar-benar wahid di eksekutif.

Kala itu Senin, 27 Desember di tahun yang sama, Gus Dur datang sendiri saat malam perayaan Natal tingkat nasional. Balai Sidang Senayan penuh oleh peserta yang jumlahnya mencapai 10 ribu orang.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” kata Gus Dur membuka pidatonya.

Tepuk tangan bergemuruh setelah Gus Dur menyelesaikan paragraf-paragraf berikutnya, “Saya sengaja tidak mengucapkan selamat malam, karena kata ‘Assalamualaikum’ berarti kedamaian atas kalian.”

Acara Natal ini juga disiarkan secara langsung oleh seluruh televisi dan radio di Indonesia, setengah jam lamanya. Gus Dur mengungkapkan bahwa ia merasa senang dan berbahagia bisa hadir pada perayaan Natal tersebut.

“Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya. Tetapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia. Sejak kecil itu saya rasakan, walaupun saya tinggal di lingkungan pondok pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai. Tetapi tidak pernah sedetik pun saya merasa berbeda dengan yang lain,” ungkapan Gus Dur ini tercatat di harian Kompas pada 28 Desember 1999.

Gus Dur memang berasal dari keluarga yang sangat dihormati dalam komunitas Muslim di Jawa Timur. Lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada 7 September 1940. Ia merupakan putra pertama dari enam bersaudara dari pasangan Wahid Hasyim dan Sholehah.

K.H Hasyim Asyari sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) adalah buyut Gus Dur, kakek dari Wahid Hasyim yang juga terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan pernah menjadi Menteri Agama tahun 1949. Sedangkan kakek dari pihak ibu Gus Dur, adalah K.H Bisri Syansuri, pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan, seperti yang tercantum pada buku Biografi Gus Dur yang ditulis Greg Barton tahun 2002.

Gus Dur mengenyam pendidikan dari pesantren ke pesantren sejak memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama. Pada 1959, ia belajar ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Sembari melanjutkan pendidikan, Gus Dur juga menjadi guru dan nantinya kepala sekolah madrasah. Selain itu, Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis di majalah Harizon dan Majalah Budaya Jaya.

Gus Dur berangkat ke Kairo pada November 1963 karena menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar. Selama menempuh pendidikan Gus Dur terbilang aktif  terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis di majalahnya. Begitu pula saat ia meneruskan pendidikan prasarjana di Universitas Baghdad. Gus Dur terus menulis di majalah Asosiasi Pelajar Indonesia.

Julukan “Bapak Pluralisme” pada Gus Dur bukan sematan gelar semata. Teladan toleransi yang ia contohkan bahkan sejak menjadi Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU).

Gus Dur pernah terjun langsung mengamankan malam Natal di berbagai gereja, dan memerintahkan Barisan Serbaguna Gerakan Pemuda Ansor (Banser) untuk menjaga gereja di malam Natal.

Malam perayaan Natal 27 Desember 1999 itu menjadi salah satu peristiwa penting untuk sikap toleransi yang dicontohkan Gus Dur. T.B. Silalahi, Mantan menteri di era Orde Baru dan juga panitia pelaksana acara kala itu mengungkapkan, “Pidato Gus Dur terhadap umat Kristiani tidak ternilai harganya.”

Malam itu Gus Dur mengingatkan untuk terus merawat persaudaraan dan hal itu menjadi tugas semua umat beragama.

“Karena itu kita memohon kepada Tuhan kita semua, kepada Tuhan yang kita yakini, dengan cara masing-masing, mudah-mudahan kita tetap diberi kekuatan untuk menjadi bangsa yang satu, tetap diberi kemampuan untuk memelihara persaudaraan yang sangat besar ini,” urai Gus Dur.


Editor: Arif Widyantiko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *