Kuliah Umum PAI UIR: Soroti Gap Generation hingga Tantangan Agama


Penulis: Fajar Ilham Saputra


Dalam rangka memahami tantangan dunia akademik, Program Studi (Prodi) Pendidikan Agama Islam(PAI) Universitas Islam Riau (UIR) menggelar Kuliah Umum dengan tema ‘Implementasi Merdeka Belajar dalam Pendidikan Agama Islam.”

Bertempat di Aula Fakultas Hukum UIR. Kuliah umum ini  turut menghadirkan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Akhmad Muzakki, M.Ag., Grad.Dip. SEA., M.Phil., Ph.D, sebagai pembicara pada Jumat (29/10/2023.)

Dalam pemaparannya, Akhmad jelaskan bahwa kurikulum Merdeka Belajar dalam konteks PAI merupakan suatu pola pendekatan pembelajaran yang berusaha menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Ia mencontohkan salah seorang guru bernama Pak Ribut yang berhasil memanfaatkan media sosial sebagai sarana konten pembelajaran bagi siswa-siswinya.

Menurutnya perkembangan pendidikan tidak dapat dipisahkan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang. Imbasnya fenomena ini kemudian menyebabkan adanya gap generation antara kalangan anak muda dan orang tua dalam mempelajari sesuatu.

Oleh karenanya, kata Ahmad tantangan pendidikan saat ini ialah bagaimana menyambungkan gap generation antara orang tua dengan anak muda ataupun guru dengan murid. Sebab kata dia, kekuatan orang tua terletak pada masa lalunya sedangkan anak muda pada masa depannya.

“Orang yang masa lalu nya kuat, memiliki nostalgia yang harganya mahal daripada proyeksi masa depan. Sedangkan adik-adik karena tidak punya masa lalu yang kuat, maka yang mahal itu proyeksi masa depan, bukan masa lalu,” ungkap Ahmad.

Lebih lanjut, dalam hal lain Akhmad juga menyoroti bagaimana peran mahasiswa PAI dalam menyikapi perubahan yang saat ini tengah berkembang. Termasuk  perubahan yang terjadi di bidang agama.

Dalam kuliah umum tersebut, ia menyebutkan setidaknya ada empat perubahan yang terjadi mengenai agama hari ini; pertama, agama di tengah perubahan cepat (consumer culture). Kedua, beragama di antara kebenaran objektif melawan kebenaran subjektif. Ketiga, perubahan itu muncul karena keinginan (customize). Keempat, beragama di tengah fragmented information.

Tidak dapat dipungkiri perubahan tersebut menimbulkan dampak seperti perubahan preferensi serta makin otonomnya individu. Di era pasca kebenaran, perasaan dan emosi dapat mengalahkan fakta.

Kata dia, analoginya seperti seekor kucing anggora dianggap anjing oleh salah seorang dosen, pernyataan itu kemudian diulang-ulang orang lain. Lalu ketika ada mahasiswa yang meyakini bahwa itu merupakan kucing, ia menjadi ragu dan terpengaruh oleh ucapan dosen karena adanya otoritas.

“Begitulah kebenaran kalau tidak ada yang memforward, tidak ada yang share, itu akan dianggap hanyalah kebohongan. Akan tetapi bohong kemudian diulang-ulang, di share, akan dianggap sebuah kebenaran, apalagi yang share memiliki otoritas,” ungkapnya.

Lanjutnya, alangkah rumitnya beragama hari ini karena orang yang memiliki otoritas keilmuan dengan yang tidak, memiliki kedudukan yang sama.

Imbasnya PAI seperti berputar dan selalu berkaitan, antara akademik keilmuan dan dakwah islamiyah.

“Guru PAI yang baik jangan hanya mengandalkan yang penting, tapi yang penting sajikan dengan cara yang baik dan cara yang menarik,” tutur  Akhmad.

Kuliah umum ini pun disambut baik oleh Ilham—selaku Mahasiswa PAI. Baginya materi yang disampaikan sangat menakjubkan.

“Kita dapat mengetahui bagaimana penyelesaian terhadap problem pendidikan yang menyebabkan gap generation antara orangtua dengan anak muda dalam perspektif Merdeka Belajar Pendidikan Agama Islam,” tutupnya.


Editor: Arif Widyantiko


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *