Melawat Sejarah Bangsa Melalui Film Biopik Jenderal Soedirman


Penulis: Annisa Rahma Aulia dan Femi Syafri Ananda


“Lebih baik dibom atom daripada tidak merdeka 100 persen.”

Adalah salah satu kutipan Jenderal Soedirman yang membangkitkan semangat bagi jiwa pemuda Bangsa Indonesia sejak dulu bahkan hingga detik ini. Kisah beliau tidak hanya menjadi sejarah namun juga diabadikan dalam film biopik, Jenderal Soedirman.

Film yang dirilis pada tahun 2015 ini, didukung penuh oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paski. Viva Westi selaku sutradara berhasil menggambarkan bagaimana dinamika permasalahan yang terjadi di Indonesia, pasca kemerdekaan, tahun 1948.

Adipati Dolken dipercaya untuk memerankan sosok Jenderal Soedirman. Selain itu, ada pula Ibnu Jamil yang memerankan Tjokropranolo, Mathias Muchus sebagai Tan Malaka, Nugie sebagai Mohammad Hatta, dan Baim Wong memerankan sang proklamator, Ir. Soekarno.

Film diawali ketika Belanda mengingkari perjanjian Renville dan secara sepihak menyatakan bahwa mereka sudah tidak lagi terikat akan aturan batasan antara wilayah Belanda dan Indonesia yang tertulis dalam perjanjian tersebut. Tidak hanya itu, Belanda juga meluluhlantakkan Yogyakarta hingga Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta harus diasingkan ke pulau Bangka.

Mendengar kabar tersebut, Jenderal Soedirman sebagai panglima TNI tidak tinggal diam dan nekat melakukan perang gerilya ditengah sakit paru-paru akut yang dideritanya.

Perang gerilya yang berjalan selama tujuh bulan ini banyak mendapatkan rintangan, dimulai dari melewati hutan, sungai, lembah yang curam, perbekalan yang menipis, hingga senjata yang minim. Namun kondisi tersebut tidak menyurutkan semangat juang para pahlawan yang rela berkorban untuk Bangsa Indonesia.

“Tujuh puluh tahun lagi negeri ini bakal aman, damai, pangan berlimpah, dan kesejahteraan terjamin,” ungkap Karsani, salah satu prajurit yang ikut berperang bersama Jenderal Soedirman, sebelum akhirnya ia tewas tertembak dalam perang gerilya tersebut.

Singkatnya, Belanda kewalahan mencari keberadaan Jenderal Soedirman dan akhirnya memilih untuk menandatangani perjanjian Roem Royen yang dimana Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia seutuhnya.

Perjuangan Jenderal Soedirman memperkukuh kekuatan diplomasi Soekarno-Hatta di meja perundingan, serta strategi perang gerilya seorang Jenderal Soedirman diakui oleh dunia sebagai taktik perang gerilya terbaik.

Kelebihan film ini yaitu dapat memupuk rasa nasionalisme, patriotisme, dan juga cinta tanah air. Film ini juga berhasil memberikan gambaran terkait bagaimana menjadi seorang pemimpin yang seharusnya. Pemimpin yang bijak, lugas, tegas, berani, serta tidak melupakan kewajibannya sebagai umat beragama.

Namun, dibalik kelebihan dari suatu karya, tentu juga menghadirkan sisi kekurangannya. Dalam film ini, ada beberapa aktor yang kurang mendalami peran sehingga adegan yang dimainkan terasa hambar.

Film ini berhasil mendapatkan jumlah penonton sebanyak 150 ribuan orang dalam dua pekan masa penayangannya. Hingga saat ini, film Jenderal Soedirman masih sering ditayangkan di televisi nasional setiap memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.

Salah satu kutipan Ir. Soekarno dapat disandingkan dengan makna yang disajikan dalam film ini.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.”


Editor: Fani Ramadhani


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *