#onedayoneoknum, Kenapa Aparat Melakukan Kejahatan?


Penulis: Rahmat Amin Siregar


Sederet kasus kejahatan yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin menambah daftar panjang pandangan buruk terhadap lembaga negara. Perbuatan jahat ini dilakukan bukan dalam pelaksanaan tugasnya, merupakan kejahatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat umum.

Secara luas, data menunjukkan sejumlah fakta, sepanjang tahun 2020, Ombudsman Republik Indonesia menerima 7.204 laporan. Polri menempati rangking kedua sebesar 11,34% setelah pemerintah daerah dengan proporsi mencapai 39,59%.

Bila Laporan Tahunan 2020 itu dikerucutkan pada lingkup sektor Hukum, Politik, Keamanan, dan Pertahanan, kepolisian menempati posisi puncak dengan proporsi 55,45% dari total 1.353 laporan. Walaupun dari total laporan yang menyangkut Polri kebanyakan melibatkan perihal penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, DPO, visum serta labkrim sebesar 55%.

Pada posisi kedua ada penerimaan laporan (Krimum, Krimsus, Propam) sebesar 23% dan kode etik dan SDM berjumlah 4%.

Begitu pula pada Laporan Triwulan II 2021. Kepolisian masih bertengger pada posisi kedua dengan 160 laporan setelah masalah agraria di posisi pertama, 353 laporan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerbitkan Laporan Bhayangkara mengenai catatan akuntabilitas Polri selama periode Juni 2020 – Mei 2021. Terdapat 651 kasus kekerasan oleh Polri kepada masyarakat sipil. Dari total itu, KontraS menemukan mayoritas kasus kekerasan terjadi di tingkat Polres dengan total 399 kasus. Pada tingkatan Polda terdapat 135 kasus dan 117 kasus di tingkat Polsek.

Berangkat dari fenomena ini, AKLaMASI mencoba menelisik kenapa oknum aparat melakukan kejahatan. Bahkan tagar one day one oknum pernah bertengger di kanal sosial media.

Tiga sorot kasus belakangan

Guna menjawab perkara ini, AKLaMASI bertanya kepada dua ahli bidang ilmu—kriminolog dan psikolog forensik—di Universitas Islam Riau. Tiga kasus yang ramai diperbincangkan oleh publik, belakangan, menjadi landasan untuk mengulik fenomena ini kepada ahli.

Pertama, kasus bunuh diri NW (23) karena depresi lantaran kekasihnya, anggota Polri, memaksa untuk melakukan tindakan aborsi.

Bripda RB adalah kekasih NW yang memaksa untuk dilakukan aborsi. Selama berpacaran, diketahui telah dua kali melakukan tindakan aborsi. NW mengakhiri hidupnya di dekat pusaran makan sang ayah di Mojokerto.

Kedua, aksi tak beradab juga dilakukan oknum anggota kepolisian di Lahat, Sumatera Selatan. Adalah Bripka IS (39) yang melakukan pelecehan seksual hingga hamil seorang istri tahanan berinisial IN (20). 

Bahkan berdasarkan pengakuan IN, Bripka IS mengancam akan memindahkan tempat tahanan suaminya ke Nusakambangan.

Ketiga, kasus pembunuhan yang dilakukan tiga oknum prajurit TNI di Nagreg, Bandung, Jawa Barat. Kejadian berawal ketika korban HS (18) dan S (14) ditabrak di dekat SPBU Nagreg oleh minibus. Terjadi pada Rabu, 8 Desember 2021. Kedua korban langsung masukan dan dibawa.

Pelakunya, perwira menengah berpangkat Kolonel berinisial P, Sertu AS, dan Kopda DA. Mereka tidak membawa korban ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan pertolongan.

Jasad HS ditemukan di Sungai Serayu Banyumas, sedangkan S ditemukan di aliran Sungai Serayu, Cilacap.

Pandangan ahli

AKLaMASI menjumpai Riky Novarizal, S.Sos,. M.Krim—salah seorang kriminolog UIR—pada Kamis (06/01).

Riky menjelaskan pandangan kriminologi yang dikemukakan Sutherlandbahwa kejahatan merupakan perbuatan yang normal. Dalam hal ini, perbuatan jahat bisa dilakukan oleh siapapun.

Menjadi pembeda adalah bentuk dari kejahatan itu sendiri. Dimana kejahatan bisa dilakukan dalam menjalankan pekerjaan, ekonomi, keahlian, kejiwaan, dan serta alasan memungkinkan lainnya.

“Sehingga dalam pandangan kriminologi, kejahatan yang dilakukan oleh oknum tersebut adalah normal karena dapat dilakukan oleh siapapun,” ujar Riky yang juga Sekretaris Prodi Kriminologi UIR ini.

Namun, dalam mengulik alasan seseorang melakukan kejahatan, haruslah mendetail pada setiap kasus. Bila mengambil contoh pada perbuatan Bripda NW dan komplotan Kolonel P, ujar Riky, situasi kondisi itu memungkinkan mereka untuk melakukan kejahatan.

“Kekhawatiran mereka terhadap resiko yang muncul akibat perbuatan itu; kehilangan pekerjaan, status sosial, penjara. Hal ini dalam pandangan kriminologi berkaitan dengan teori Rational Choice,” ungkap Riky.

Teori ini merupakan perhitungan untung dan rugi dari sebuah perbuatan. Sehingga akhirnya perbuatan jahat dilakukan untuk mencegah dampak yang lebih buruk terjadi pada pelaku demi  menutupi perbuatan sebelumnya.

“Sehingga kita bisa membenarkan [penyebab] kejahatan yang dilakukan oleh oknum kepolisian ataupun orang yang punya pekerjaan tidak terlepas dari pandangan untung dan rugi dari apa-apa yang telah mereka peroleh,” tungkas Riky saat ditemui di ruangannya.

Sedangkan pada kasus pemerkosaan dengan paksaan yang dilakukan Bripka IS, Riky menilai hal ini terjadi tidak terlepas dari pemanfaatan jabatan untuk mendapatkan keuntungan.

Lebih jauh, termasuk dalam kategori kejahatan ‘kerah putih’ alias kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki wewenang, kekuasan, atau status sosial yang lebih tinggi dengan menyalahgunakan kekuasaan dan tanggung jawab berkaitan dengan pekerjaannya—Occupational Crime.

Dalam kaitan ini, psikolog forensik Riau yang juga Dekan Fakultas Psikologi UIR saat AKLaMASI temui pada Senin (17/01), mengatakan salah satu faktor yang menguatkan seseorang melakukan tindakan adalah status yang dimiliki.

Faktor risiko dan risk protectivemenjadi faktor penguat, bukanlah penyebab. Layaknya dosen yang dianggap pinter dan memiliki kuasa terhadap mahasiswa. Persepsi terhadap polisi punya kuasa yang lebih terhadap semua tindak kejahatan. Makannya dia mau ngapain aja gak tau,” ungkapYanwar Arief, M.Psi., Psikolog.

Menyoal tentang tindak kejahatan, Yanwar sependapat bahwa semua orang bisa melakukannya. Sedangkan pendorongnya, bila melihat dari sisi pelaku, kepribadian, masa lalu, kesempatan, menutupi bukti, dan relasi kuasa yang bisa menekan, hal ini lebih memudahkan untuk melakukan tindakan kejahatan.

Menyoal lebih tentang kepribadian yang melekat oleh diri pelaku, dapat dibentuk dari masa lalu, kebiasaan. Sehingga perilaku yang khas dan menetap ini dapat disebut sebagai kepribadian, “bisa jadi kepribadian itu yang menyebabkan orang melakukan tindak kejahatan, … karena ada tipe kepribadian yang suka melakukan kejahatan atau menyakiti orang lain tanpa rasa bersalah. Ini bisa ciri kepribadian, namun belum sampai pada gangguan kejiwaan”.

Serta tindak kejahatan, tutur Yanwar, dapat juga berasal dari pengalaman masa lalu “orang dengan tindak kekerasan atau tidak bagus, ya tentu akan punya pengalaman melakukan tindakan kejahatan. Dengan mekanisme ‘ya aku dulu pernah diseperti itu kan’ begitu ya” jelasnya.

“Saya melihatnya lebih dominan pada relasi kuasa sehingga, mungkin, akan lebih mudah untuk menutupi kejahatan. Sedangkan kenapa oknum aparat melakukan kejahatan, … faktor dominan lainnya adalah kepribadian yang sudah jelek dan dalam dirinya memiliki kerentanan untuk jadi pelaku” tungkas Yanwar.


Ilustrasi: Ahkmat Kusairi

Editor: Gerin Rio Pranata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *